MEMBANGUN KARAKTER PERADABAN ANAK DENGAN PENDIDIKAN MORAL
Kajian Reflektif Teoritis
Dalam Perspektif Membangun
Karakter Peserta Didik Ideal
Oleh H.Hamzah H.Syahrir
PENDAHULUAN
Dunia sekarang memang
sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya berbagai permasalahan yang
melibatkan berbagai elemen bangsa sebagai pelakunya seperti : fenomena demokrasi
dijadikan manipulasi suara dan kesepakatan curang, perilaku suap, korupsi,
kolusi, nepotisme, amoral, seks bebas, seks pra nikah, pornografi, penyalahgunaan
kekuasaan, melanggar hukum, narkoba, minuman keras, pemabantaian umat, tawuran,
kekerasan, pelanggaran prokes, politisasi umat dan ulama, merongrong UUD 1945, Pancasila,
anti kritik, penghinaan agama, guru dan sesama murid melalui media sosial (Medsos).
Bahkan kasus korupsi banyak melibatkan orang terdidik dan terpelajar. Tamparan
keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi terdidik dan
beretika dan memberantas fenomena perilaku amoral.
Dr. Martin
Luther King pernah berkata: Intelligence
plus character that is the goal of true education (Kecerdasan plus
karakter adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya) dan Theodore
Roosevelt mengatakan: To educate
a person in mind and not in morals is to educate a menace to society (Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya
kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter telah
lama didengungkan oleh tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara dengan
pendidikan berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan
bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge)
tetapi mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat
manusia.
Berdasarkan latar
belakang fenomena dan pendapat tersebut, bahwa pendidikan saat ini seharunya mengevaluasi
sistem pembelajaran untuk menghasilkan manusia berkarakter. Proses pencarian
jati diri sistem pendidikan merupakan arah mencapai keseimbangan kondisi homeostatic yang relatif sebagaimana
setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapainya. Dituntut peran sekolah
dan guru sebagai institusi pendidikan formal sebagai posisi yang tertantang
dalam menghadapi fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi
moral.
PEMAHAMAN ISTILAH
Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa yunani, yakni kharaseein yang mengandung makna mengukir
tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005).
Istilah tersebut lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan
sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian karakter dapat menunjukkan
sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan
diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).
Perkembangan pengetahuan
tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu sosial. Dalam filsafat istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk
dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang
sering menggunakan istilah ethe untuk karakter yang secara etimologis berkaitan
dengan ethics dan morality. Ahli psikologi banyak mengajukan definisi karakter
dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan istilah karakter pada area moral
saja, ada yang memakai pada domain moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al.
(2007) karakter mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral
adalah semua perilaku yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan
dengan orang lain. Contohnya kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli
dengan orang lain (sifat feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah
semua perilaku yang merujuk kepada pengembangan sifat dalam diri atau
intrapersonal. Contohnya disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah
dan percaya diri (sifat maskulin). Karakter berdomain moral maupun nonmoral mempunyai
tujuan yang sama yakni membentuk kepribadian yang peka terhadap kepentingan
sosial (prososial).
Karakter terkadang
dipandang sebagai kepribadian atau lebih bersifat perilaku. Banyak ilmuwan
psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka tentang
karakter, namun ada yang lebih bersifat
komprehensif, bahkan ada ilmuwan yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu
konstruksi sosial. Menurut ahli konstruksi sosial karakter seseorang dipengaruhi
oleh lingkungan sosial.
Salah satu definisi
karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yakni sekumpulan
karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan
membantu diri untuk berfungsi secara moral, karena sifat karakter yang plural.
Beberapa ahli membagi karakter ke dalam beberapa kategori. Peterson dan
Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6 (enam) kelompok
besar yang menurunkan 24 (dua puluh empat) karakter : kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi dan mengatasi
hal-hal yang tak menyenangkan (temperance),
dan spiritual (transcendence).
Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai yang patut diajarkan
kepada anak-anak menjadikannya pribadi berkarakter.
Megawangi dalam
(http://ihfkarakter.multiply.com/journal) menamakannya sembilan Pilar Karakter : cinta Tuhan dan kebenaran,
bertanggung jawab, kedisiplinan, dan mandiri, mempunyai amanah, bersikap hormat
dan santun, mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama,
percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, mempunyai rasa keadilan dan sikap
kepemimpinan, baik dan rendah hati, mempunyai toleransi dan cinta damai.
Sedangkan pemahaman moral
sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan berasal dari
kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan
aturan universal bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif
(intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih
lanjut, Nucci and Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor
determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu,
indikator manusia yang berkarakter moral adalah:
1. |
Personal improvement : individu
yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang di internalisasi
dalam dirinya. Dengan demikian mereka tidak mudah goyah dengan pengaruh
lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang di internalisasinya.
Ciri kepribadian secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu
yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia
junjung tidak melakukan tindakan
amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agama tidak terpengaruh
oleh lingkungan sosial untuk mencederai demokrasi, manipulasi dan korupsi |
2. |
Social skill : mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu
mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan
sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal mengarahkan
manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contoh individu yang
religius pasti berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan
ummat. |
3. |
Comprehensive problem solving : sejauhmana
individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial
yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap
nilai atau aturan. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan
orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu, tetap
mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah
di internalisasikan dalam dirinya. Contoh seorang murid yang tidak mau mengikuti
teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap
menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun
sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek.
Keluwesan dalam berfikir dan memahami dibutuhkan untuk menilai suatu
perbuatan benar atau salah. |
Terminologi
pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan terletak pada ranah yang
disentuh oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran pendidik hanya
memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada peserta didik. Sedangkan dalam terminologi pendidikan pendidik memberikan ilmu
dalam ranah pengetahuan (cognitive),
perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Sebenarnya berdasarkan
pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf yunani) yang mempunyai prinsip soul and body dualisme yakni manusia
hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yakni rohani dan ragawi. Pendidikan
tidak hanya sekedar memberikan asupan raga, tetapi direpresentasikan dengan
otak, asupan untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik buruk
atau benar salah.
Berdasarkan
paparan pemahaman istilah tersebut, kita mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral sebagai
proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap
fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik
mempunyai kepribadian berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan dan mampu
melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan
yang mereka junjung tinggi. Pendidikan berkarakter moral membantu peserta didik
memahami kebajikan (kebaikan), mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love the good, and do the
good). Karakter sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang tidak
terdidik. Kita mempunyai perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007)
yang membedakan karakter moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut,
kita menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator
yang tidak dapat dipisahkan apabila ingin mengetahui ciri manusia berkarakter
moral.
PERKEMBANGAN KARAKTER MORAL MANUSIA
Dalam ilmu psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah nature dan nurture. Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang
berbeda tentang aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia sejak lahir atau apakah
terbentuk dari lingkungan, mana yang lebih banyak mempengaruhi individu. Begitu
pula halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang, apakah karakter merupakan
sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan) atau dapat dibentuk
melalui didikan lingkungan. Perdebatan tidak pernah selesai dan mungkin tidak
pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Satu hal yang jelas bahwa memang ada
interaksi antara aspek nature
dan nurture dalam perkembangan
karakter individu yang dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh para
ahli.
Faktor
determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian untuk
mengungkap pengaruh biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi serta
bersifat longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis
yang cukup kuat terhadap karakter anak (Deater Deckard and O.Connor, 2000,
Plomin and McGuffin, 2003). Beberapa dimensi karakter seperti empati dan simpati
juga banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih mengarah kepada
herediter (Caspi, dkk., 2003; Decety and Chaminade, 2003; Harris, 2003)
Pada sisi lain,
lingkungan keluarga membawa pengaruh cukup penting bagi pembentukan karakter
anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kedekatan antara orangtua dan
anak merupakan aspek yang sangat penting bagi awal perkembangan moral anak. Pengasuhan
orangtua secara menyeluruh meliputi relasi antara orangtua dan anak yang hangat
dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta pemahaman membawa dampak
terhadap karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr and Stattin, 2000; Kochanska,
2002; Zhou, dkk, 2002). Pola disiplin yang diterapkan orangtua merupakan hal
penting (Kochanska, dkk. 2003). Disiplin mengontrol perilaku anak dan biasanya
dikaitkan dengan konsekwensi negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang
paling penting dari penegakkan disiplin adalah konsekwensi yang logis terkait
dengan pelanggaran yang dilakukan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible and
Thompson (2000) bahwa disiplin yang menekankan pada penalaran dan logika mempercepat
terjadinya internalisasi nilai pada anak.
Sekolah sebagai
lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai,
kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas,
dan sebagainya (Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan
komunitasnya, termasuk kedekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan
prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak menerapkan
sebuah standar atau norma bila standar jelas dan disertai dengan adanya ikatan
emosi, komitmen, dan kedekatan dengan sekolah. Sekolah perlu memiliki atmosfir
moral dalam rangka meningkatkan tanggung jawab dan mengurangi pelanggaran di
sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah anak mengalami perluasan
aktivitas. Relasi dengan teman sebaya membawa dampak terhadap pembentukan
karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain merupakan
mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn & Hughes,
2001, Howe, dkk. 2002; Killen, dkk. 2001, Theimer, dkk. 2001).
Tidak kalah pentingnya
pengaruh komunitas terhadap karakter anak dan remaja. Media elektronik sebagai
salah satu media memberikan fasilitas peniruan melalui program siaran. Pada
umumnya anak dan remaja lebih mudah menerima informasi yang dilihat dan
didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi tertentu yang
disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan dan akibat dari reaksi. Apabila
anak dan remaja terus melihat adegan negatif, mereka menganggap adegan negatif sebagai sesuatu yang
wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak dan remaja melakukan adegan yang
serupa. Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti, dalam kaitannya dengan
perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan (Huesmann, dkk. 2003; Robinson,
dkk. 2001). Di sisi lain televisi membentuk karakter positif, dalam hal perilaku
prososial dan altruis (Mares and Woodard, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa
lingkungan sosial mempunyai andil dalam pembentukan moral dan karakter anak dan
remaja.
PERAN SEKOLAH MEMBANGUN MANUSIA BERKARAKTER MORAL
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah dilakukan oleh Berkowitz
and Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral
mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan
drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan
akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk
pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan. Setiap individu
mempunyai integritas maka ia memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi
hambatan dalam belajar.
Beberapa tema
moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006).
Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a).
Mudah memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai
yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah
moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan
termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu
memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan
sosial. Oleh karena demikian maka negara maju turut menekankan pendidikan
berkarakter moral sebagai soft-skill
yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan lulusan dunia pendidikan lebih
siap berkompetisi dalam era global.
Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam
pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman
sebaya dan civitas akademika. Apalagi fenomena kurikulum sekarang yang syarat
beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada
di lingkungan keluarga dan masyarakat. Seharusnya pemerhati dan tokoh
pendidikan aktif memberikan saran terhadap peran sekolah dalam membangun
manusia yang berkarakter moral sebagai berikut :
1. |
Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap
kasus/ fenomena |
|
|
Pendidikan
agama tidak hanya disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana
ibadah, tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial.
Nilai-nilai agama yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta
didik. Sebagai contoh pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at
sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh manusia dengan
menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya
mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan etika protestan
untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia
menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat
membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Kita mempunyai pendirian
bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang universal
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan
sosialnya (interpersonal). Secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa
ciri manusia yang religius adalah : |
|
|
a. |
Mampu memahami dan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan.
Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan
dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari. |
|
b. |
Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia mengaku beragama harus
memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan
pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya sebagai
seorang Muslim seharusnya tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti
kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan
ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas diri |
|
c. |
Meyakini dan memelihara hubungan dengan makhluk lain ciptaan Tuhan dan
alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka dituntut untuk membina
hubungan dengan orang lain, mahkluk ghaib dan alam semesta. |
|
d. |
Keyakinan terhadap masa depan, keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia
religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia,
seperti kematian, alam kubur, hari dibangkitkannya atau kiamat, syurga dan neraka.
Manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia sebagai investasi dalam
kehidupan di masa mendatang dan kehidupan akhirat |
|
Berdasarkan
ciri manusia yang religius yang mempunyai nilai-nilai agama, sebenarnya sama
dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal
dan intrapersonal. Pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus atau
fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan
nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). |
|
2. |
Menyiapkan pendidik, kakak kelas, civitas akademika, alumni sebagai role model |
|
|
Sebagaimana
definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya
tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal dibutuhkan
figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan. Figur teladan sesuai dengan
filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara ing ngarso sung tulodho (seorang
guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan), keteladanan
moral. Guru merupakan sosok digugu
lan ditiru (dipatuhi dan
dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa
mendidik (memberi keteladanan moral) maka terjadi kebingungan pada peserta
didik. Sosok pendidik yang ideal yakni pendidik yang bermoral. Pendidik melakukan
tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain
sebagainya, fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy dan sosok yang idealnya bermoral namun
melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya pendidik, kakak kelas dan
alumni sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan
alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah, aktivitas
yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat
diminimalisasi. |
|
3. |
Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan
konsisten. |
|
|
Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas
peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas dimaksudkan agar peserta
didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan untuk melanggarnya.
Aturan atau nilai yang rasional adalah aturan untuk mengarahkan atau melarang
suatu tindakan dan penguatan alasan mengapa aturan ditegakkan. Membutuhkan
sosialisasi kepada peserta didik dan civitas akademika agar memahami latar
belakang ditegakkannya nilai atau aturan. Rasionalitas atau alasan tentang
penegakan nilai moral perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan,
seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional
dalam setiap tindakan. Pemahaman nilai atau aturan yang rasional maka peserta
didik menjalankan aturan dan nilai kehidupan, karena terdorong untuk kebaikan.
Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang
tepat menumbuhkan motivasi intrinsik
atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang
konsisten untuk semua pihak diharapkan menjadi perangkat aturan untuk
kepentingan bersama (keadilan distributif). |
|
4. |
Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan
pemerintah |
|
|
Sebagaimana
kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi
antara berbagai pihak. Meskipun sekolah menerapkan pendidikan berkarakter
moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak efektif jika tidak didukung
keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali
merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan sesungguhnya
merupakan suatu proses. Makna pendidikan berkarakter moral merupakan transfer
secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya kebijakan pemerintah tentang
ujian nasional mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan pada hasil
daripada proses. Sebenarnya pendidikan lebih menekankan pada proses.
Disarankan agar sekolah dan pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang
bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral. |
|
5. |
Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra
dan kokulikuler sebagai hidden
curriculum |
|
|
Dalam
kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler, setiap mata pelajaran perlu
memberikan pesan moral berkaitan dengan topik pembelajaran. Contoh pembelajaran
Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak
negatif seks pranikah, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi pesan moral yang
rasional. Dalam kegiatan ekstra kurikuler perlu diperbanyak aktivitas
membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil,
Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan Kantin
Kejujuran perlu diwujudkan. |
|
6. |
Menyajikan story telling dengan multi media untuk melibatkan peran
sebagai role model karakter
moral. |
|
|
Menurut Sheldon (2004), story
telling adalah salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan
moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model. Story telling memiliki kemampuan
untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah
menerima informasi melalui audio-visual. Disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik
keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral
yang disampaikan. Contoh story
telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan
melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan moral tentang berbakti
kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada peserta didik. |
PENUTUP
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa :
1. |
Pembentukan
karakter moral seseorang dipengaruhi oleh interaksi antara bawaan yang
bersifat herediter dengan faktor yang ada di lingkungan. |
2. |
Pendidikan
berkarakter moral adalah kunci perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa
dalam menjunjung tinggi integritas nilai dan kemanusiaan. Harapan dari
pendidikan berkarakter moral adalah tercapainya keseimbangan antara
pengetahuan dan moral. Salah satu pendekatan dalam pendidikan berkarakter
moral ialah dengan pendidikan agama yang diterapkan dalam setiap jenjang
pendidikan. Jika pengetahuan dan agama dapat diintegrasikan dalam mewujudkan
kesempurnaan ilmu berlandaskan moralitas (excellent with morality). Ilmu
tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh. |
3. |
Pendidikan
berkarakter moral dikatakan efektif apabila mencapai tujuan untuk menjadikan
manusia yang memiliki karakter; kemampuan sosial (social skill), pengembangan kepribadian (personal improvement) dan pemecahan
masalah secara komprehensif (comprehensive
problem solving). |
4. |
Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur
teladan sebagai role model
untuk menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Peran
pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar
peserta didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku moral. Semua pihak
aktif untuk bersinergisitas diantara
elemen sekolah dalam membangun pendidikan berkarakter moral dapat terus
dilakukan secara berkelanjutan |
DAFTAR
BACAAN
Hasting et al. (2007), Karakter Domain
Moral dan Nonmoral.
Peterson dan Seligman (2004)
Klasifikasi Kekuatan Karakter
Hasting et al. (2007) Perbedaan Karakter
Moral dan Nonmoral
Kochanska, dkk. (2004) Kedekatan
Antara Orang Tua dan Anak
Kochanska, dkk, 2003. Disiplin Mengontrol
Perilaku Anak
Laible and Thompson 2000. Disiplin Penalaran
dan Logika
Berkowitz, 2002. Komunitas Sekolah dan
Kedekatan Dengan Guru
Hawkins, dkk. 2001. Standar Norma
Sekolah
Mares and Woodard, 2005. Televisi
Membentuk Karakter Positif dan Negatif
Narvaes 2006. Moral Berhubungan Dengan
Kognitif
Silberman (2005) Ciri Manusia Religius
Ki Hadjar Dewantara. Ing Ngarso Sung Tulodho.
Sheldon (2004), Metode Pesan Moral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar