Minggu, 17 Oktober 2021

 

MEMBANGUN KARAKTER PERADABAN ANAK DENGAN PENDIDIKAN MORAL

Kajian Reflektif Teoritis

Dalam Perspektif Membangun Karakter Peserta Didik Ideal

Oleh H.Hamzah H.Syahrir

  

PENDAHULUAN

Dunia sekarang memang sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya berbagai permasalahan yang melibatkan berbagai elemen bangsa sebagai pelakunya seperti : fenomena demokrasi dijadikan manipulasi suara dan kesepakatan curang, perilaku suap, korupsi, kolusi, nepotisme, amoral, seks bebas, seks pra nikah, pornografi, penyalahgunaan kekuasaan, melanggar hukum, narkoba, minuman keras, pemabantaian umat, tawuran, kekerasan, pelanggaran prokes, politisasi umat dan ulama, merongrong UUD 1945, Pancasila, anti kritik, penghinaan agama, guru dan sesama murid melalui media sosial (Medsos). Bahkan kasus korupsi banyak melibatkan orang terdidik dan terpelajar. Tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi terdidik dan beretika dan memberantas fenomena perilaku amoral.

Dr. Martin Luther King pernah berkata: Intelligence plus character that is the goal of true education (Kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya) dan Theodore Roosevelt mengatakan: To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter telah lama didengungkan oleh tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara dengan pendidikan berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat manusia.

Berdasarkan latar belakang fenomena dan pendapat tersebut, bahwa pendidikan saat ini seharunya mengevaluasi sistem pembelajaran untuk menghasilkan manusia berkarakter. Proses pencarian jati diri sistem pendidikan merupakan arah mencapai keseimbangan kondisi homeostatic yang relatif sebagaimana setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapainya. Dituntut peran sekolah dan guru sebagai institusi pendidikan formal sebagai posisi yang tertantang dalam menghadapi fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi moral.

PEMAHAMAN ISTILAH

Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa yunani, yakni kharaseein yang mengandung makna mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Istilah tersebut lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian karakter dapat menunjukkan sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).

Perkembangan pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu sosial. Dalam filsafat  istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang sering menggunakan istilah ethe untuk karakter yang secara etimologis berkaitan dengan ethics dan morality. Ahli psikologi banyak mengajukan definisi karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan istilah karakter pada area moral saja, ada yang memakai pada domain moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al. (2007) karakter mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral adalah semua perilaku yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang merujuk kepada pengembangan sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri (sifat maskulin). Karakter berdomain moral maupun nonmoral mempunyai tujuan yang sama yakni membentuk kepribadian yang peka terhadap kepentingan sosial (prososial).

Karakter terkadang dipandang sebagai kepribadian atau lebih bersifat perilaku. Banyak ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka tentang karakter, namun ada  yang lebih bersifat komprehensif, bahkan ada ilmuwan yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu konstruksi sosial. Menurut ahli konstruksi sosial karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yakni sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan membantu diri untuk berfungsi secara moral, karena sifat karakter yang plural. Beberapa ahli membagi karakter ke dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6 (enam) kelompok besar yang menurunkan 24 (dua puluh empat) karakter : kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak menjadikannya pribadi berkarakter.

Megawangi dalam (http://ihfkarakter.multiply.com/journal) menamakannya sembilan Pilar Karakter : cinta Tuhan dan kebenaran, bertanggung jawab, kedisiplinan, dan mandiri, mempunyai amanah, bersikap hormat dan santun, mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama, percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan, baik dan rendah hati, mempunyai toleransi dan cinta damai.

Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci and Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter moral adalah:

1.

Personal improvement : individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang di internalisasi dalam dirinya. Dengan demikian mereka tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang di internalisasinya. Ciri kepribadian secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak  melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agama tidak terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencederai demokrasi, manipulasi dan korupsi

2.

Social skill : mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contoh individu yang religius pasti berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.

3.

Comprehensive problem solving : sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu, tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah di internalisasikan dalam dirinya. Contoh  seorang murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan benar atau salah.

Terminologi pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan terletak pada ranah yang disentuh oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran pendidik hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada peserta didik. Sedangkan dalam terminologi pendidikan pendidik memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf yunani) yang mempunyai prinsip soul and body dualisme yakni manusia hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yakni rohani dan ragawi. Pendidikan tidak hanya sekedar memberikan asupan raga, tetapi direpresentasikan dengan otak, asupan untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik buruk atau benar salah.

Berdasarkan paparan pemahaman istilah tersebut, kita mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik mempunyai kepribadian berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan yang mereka junjung tinggi. Pendidikan berkarakter moral membantu peserta didik memahami kebajikan (kebaikan), mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love the good, and do the good). Karakter sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang tidak terdidik. Kita mempunyai perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, kita menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang tidak dapat dipisahkan apabila ingin mengetahui ciri manusia berkarakter moral.

PERKEMBANGAN KARAKTER MORAL MANUSIA

Dalam ilmu psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah nature dan nurture. Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang berbeda tentang aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia sejak lahir atau apakah terbentuk dari lingkungan, mana yang lebih banyak mempengaruhi individu. Begitu pula halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang, apakah karakter merupakan sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan) atau dapat dibentuk melalui didikan lingkungan. Perdebatan tidak pernah selesai dan mungkin tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Satu hal yang jelas bahwa memang ada interaksi antara aspek nature dan nurture dalam perkembangan karakter individu yang dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh para ahli.

Faktor determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian untuk mengungkap pengaruh biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi serta bersifat longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis yang cukup kuat terhadap karakter anak (Deater Deckard and O.Connor, 2000, Plomin and McGuffin, 2003). Beberapa dimensi karakter seperti empati dan simpati juga banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih mengarah kepada herediter (Caspi, dkk., 2003; Decety and Chaminade, 2003; Harris, 2003)

Pada sisi lain, lingkungan keluarga membawa pengaruh cukup penting bagi pembentukan karakter anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kedekatan antara orangtua dan anak merupakan aspek yang sangat penting bagi awal perkembangan moral anak. Pengasuhan orangtua secara menyeluruh meliputi relasi antara orangtua dan anak yang hangat dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta pemahaman membawa dampak terhadap karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr and Stattin, 2000; Kochanska, 2002; Zhou, dkk, 2002). Pola disiplin yang diterapkan orangtua merupakan hal penting (Kochanska, dkk. 2003). Disiplin mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan dengan konsekwensi negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling penting dari penegakkan disiplin adalah konsekwensi yang logis terkait dengan pelanggaran yang dilakukan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible and Thompson (2000) bahwa disiplin yang menekankan pada penalaran dan logika mempercepat terjadinya internalisasi nilai pada anak.

Sekolah sebagai lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas, dan sebagainya (Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan komunitasnya, termasuk kedekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak menerapkan sebuah standar atau norma bila standar jelas dan disertai dengan adanya ikatan emosi, komitmen, dan kedekatan dengan sekolah. Sekolah perlu memiliki atmosfir moral dalam rangka meningkatkan tanggung jawab dan mengurangi pelanggaran di sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah anak mengalami perluasan aktivitas. Relasi dengan teman sebaya membawa dampak terhadap pembentukan karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain merupakan mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn & Hughes, 2001, Howe, dkk. 2002; Killen, dkk. 2001, Theimer, dkk. 2001).

Tidak kalah pentingnya pengaruh komunitas terhadap karakter anak dan remaja. Media elektronik sebagai salah satu media memberikan fasilitas peniruan melalui program siaran. Pada umumnya anak dan remaja lebih mudah menerima informasi yang dilihat dan didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi tertentu yang disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan dan akibat dari reaksi. Apabila anak dan remaja terus melihat adegan negatif, mereka  menganggap adegan negatif sebagai sesuatu yang wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak dan remaja melakukan adegan yang serupa. Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti, dalam kaitannya dengan perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan (Huesmann, dkk. 2003; Robinson, dkk. 2001). Di sisi lain televisi membentuk karakter positif, dalam hal perilaku prososial dan altruis (Mares and Woodard, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial mempunyai andil dalam pembentukan moral dan karakter anak dan remaja.

PERAN SEKOLAH MEMBANGUN MANUSIA BERKARAKTER MORAL

Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah dilakukan oleh Berkowitz and Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan. Setiap individu mempunyai integritas maka ia memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.

Beberapa tema moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh karena demikian maka negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan lulusan dunia pendidikan lebih siap berkompetisi dalam era global.

Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan civitas akademika. Apalagi fenomena kurikulum sekarang yang syarat beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Seharusnya pemerhati dan tokoh pendidikan aktif memberikan saran terhadap peran sekolah dalam membangun manusia yang berkarakter moral sebagai berikut :

1.

Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena

 

Pendidikan agama tidak hanya disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah, tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh manusia dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan etika protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Kita mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang universal mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah :

 

a.

Mampu memahami dan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.

 

b.

Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya sebagai seorang Muslim seharusnya tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas diri

 

c.

Meyakini dan memelihara hubungan dengan makhluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahkluk ghaib dan alam semesta.

 

d.

Keyakinan terhadap masa depan, keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari dibangkitkannya atau kiamat, syurga dan neraka. Manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang dan kehidupan akhirat

 

Berdasarkan ciri manusia yang religius yang mempunyai nilai-nilai agama, sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal. Pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).

2.

Menyiapkan pendidik, kakak kelas, civitas akademika, alumni sebagai role model

 

Sebagaimana definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan. Figur teladan sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan), keteladanan moral. Guru merupakan sosok digugu lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka terjadi kebingungan pada peserta didik. Sosok pendidik yang ideal yakni pendidik yang bermoral. Pendidik melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya, fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy dan sosok yang idealnya bermoral namun melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya pendidik, kakak kelas dan alumni sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah, aktivitas yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.

3.

Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten.

 

Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan untuk melanggarnya. Aturan atau nilai yang rasional adalah aturan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan dan penguatan alasan mengapa aturan ditegakkan. Membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan civitas akademika agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Pemahaman nilai atau aturan yang rasional maka peserta didik menjalankan aturan dan nilai kehidupan, karena terdorong untuk kebaikan. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat  menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif).

4.

Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah

 

Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi antara berbagai pihak. Meskipun sekolah menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan sesungguhnya merupakan suatu proses. Makna pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya kebijakan pemerintah tentang ujian nasional mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan pada hasil daripada proses. Sebenarnya pendidikan lebih menekankan pada proses. Disarankan agar sekolah dan pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.

5.

Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan kokulikuler sebagai hidden curriculum

 

Dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral berkaitan dengan topik pembelajaran. Contoh pembelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pranikah, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi pesan moral yang rasional.  Dalam kegiatan ekstra kurikuler perlu diperbanyak aktivitas membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan Kantin Kejujuran perlu diwujudkan.

6.

Menyajikan story telling dengan multi media untuk melibatkan peran sebagai role model karakter moral.

 

Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model. Story telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-visual. Disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Contoh story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan moral tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada peserta didik.

PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa :

1.

Pembentukan karakter moral seseorang dipengaruhi oleh interaksi antara bawaan yang bersifat herediter dengan faktor yang ada di lingkungan.

2.

Pendidikan berkarakter moral adalah kunci perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa dalam menjunjung tinggi integritas nilai dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter moral adalah tercapainya keseimbangan antara pengetahuan dan moral. Salah satu pendekatan dalam pendidikan berkarakter moral ialah dengan pendidikan agama yang diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan. Jika pengetahuan dan agama dapat diintegrasikan dalam mewujudkan kesempurnaan ilmu berlandaskan moralitas (excellent with morality). Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.

3.

Pendidikan berkarakter moral dikatakan efektif apabila mencapai tujuan untuk menjadikan manusia yang memiliki karakter; kemampuan sosial (social skill), pengembangan kepribadian (personal improvement) dan pemecahan masalah secara komprehensif (comprehensive problem solving).

4.

Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur teladan sebagai role model untuk menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Peran pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar peserta didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku moral. Semua pihak aktif untuk  bersinergisitas diantara elemen sekolah dalam membangun pendidikan berkarakter moral dapat terus dilakukan secara berkelanjutan

DAFTAR  BACAAN

Hasting et al. (2007), Karakter Domain Moral dan Nonmoral.

Peterson dan Seligman (2004) Klasifikasi Kekuatan Karakter

Hasting et al. (2007) Perbedaan Karakter Moral dan Nonmoral

Kochanska, dkk. (2004) Kedekatan Antara Orang Tua dan Anak

Kochanska, dkk, 2003. Disiplin Mengontrol Perilaku Anak

Laible and Thompson 2000. Disiplin Penalaran dan Logika

Berkowitz, 2002. Komunitas Sekolah dan Kedekatan Dengan Guru

Hawkins, dkk. 2001. Standar Norma Sekolah

Mares and Woodard, 2005. Televisi Membentuk Karakter Positif dan Negatif

Narvaes 2006. Moral Berhubungan Dengan Kognitif

Silberman (2005) Ciri Manusia Religius

Ki Hadjar Dewantara. Ing Ngarso Sung Tulodho.

Sheldon (2004), Metode Pesan Moral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar