Senin, 19 September 2011

PARTICIPATORY MODEL OF SCHOOL MANAGEMENT

PARTICIPATORY MODEL OF SCHOOL MANAGEMENT
(MODEL MANAJEMEN PARTISIPATIF DI SEKOLAH)

Oleh Hamzah LPMP NTT


Pengambilan keputusan partisipatif merupakan suatu pengem¬bangan konsep to grasp, menurut Allen dan Glikman (1992). Kegiatan mencakup perubahan fundamental mengenai cara sekolah dikelola dan cara mengungkapkan peranan dan hubungan kepala sekolah dengan masyarakat sekolah. Pengambilan keputusan partisipatif adalah proses membuat keputusan sekolah dalam suasana kerjasama pada semua level.
Menurut Newel (1992), pembuatan keputusan parti¬sipatif dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik sebab sejumlah pemikiran orang diperkenalkan dalam memecahkan suatu masalah. Partisipasi dalam pembuatan keputusan bermakna menyatukan tujuan individu dengan tujuan organisasi dan pengembangan individu dalam upaya fungsionalisasi diri, proses membangun keterampilan kelompok dan pengembangan kompetensi kepemimpinan. Nilai dari keikutsertaan dalam pengambilan keputusan adalah kekuatan pengertian yang disampaikan kepada individu.
Berbagai penelitian menemukan bahwa orang memberikan respek dan memperoleh manfaat dari teknik pengambilan keputusan partisipatif. Individu kehilangan kepentingan dalam pemecahan masalah jika tidak dilibatkan secara aktif; Partisipasi dalam pembuatan keputusan me¬ngurangi penolakan terhadap perubahan, meskipun kehilangan kedudukan sebagai pemimpin jika kepemimpinan telah dibagi dengan anggota kelompok; Keterlibatan dalam pengawasan yang berhubungan dengan tugas dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja; Interaksi kelompok seringkali mengarahkan untuk mengambil resiko lebih besar atas bagian daripada anggota kelompok, bahwa kelompok pembuat keputusan memperkuat nilai perilaku anggota kelompok yang secara umum diterima dalam budaya tertentu; Partisipasi dalam pembuatan keputusan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan di sekolah; Temuan penelitian ini meneguhkan asumsi bahwa peningkatan peranan individu dan kelompok dalam proses pembuatan keputusan dapat meningkatkan produktivitas yang lebih besar, dan juga peningkatan peranan manajemen (level) bawah dalam pembuatan keputusan dapat meningkatkan produktivitas.
Beberapa temuan berbeda yang diperoleh dalam penelitian Alutto dan Belasco (Newwel, 1978) yang telah meng¬identifikasi tiga keadaan keputusan dari para guru, yaitu: (1) kehilangan kesempatan (guru yang ingin lebih berpartisipasi); (2) keseimbangan (guru yang ingin tidak ada perubahan dalam partisipasinya sekarang); (3) kejenuhan (para guru yang ingin mengurangi partisipasinya). Temuan ini berdasarkan pandangan guru muda yang mengajar pada sekolah menengah di daerah pinggiran yang merasa kehilangan kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan guru yang lebih tua cenderung mengalami rasa jenuh dalam pengambilan keputusan.
Singkatnya, temuan penelitian secara umum mengindikasikan bahwa keterlibatan dalam pengambilan keputusan sangat disukai, tetapi struktur pembuatan keputusan harus cukup fleksibel untuk membolehkan bagi keragaman tingkat partisipasi. Menurut Simon (1985: 177), aspek in-ternal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi hubungannya dengan pengambilan keputusan adalah kewenangan, komunikasi, pelatihan, efisiensi dan loyalitas kepatuhan. Kelima aspek ini merupakan konsep yang dapat mendorong seseorang membuat dan melaksanakan keputusan organisasi.
Pertimbangan yang dijadikan sebagai premis dalam meng¬gunakan wewenang adalah pertimbangan nilai dan pertimbangan fakta. Pertimbangan nilai menyangkut nilai, budaya, pandangan dan pengalaman seseorang yang dipakainya dalam meng¬gunakan wewenang. Sedangkan pertimbangan fakta berdasarkan data dan informasi yang ada untuk digunakan dalam kewenangan organisasi. Kedua pertimbangan tersebut sangat penting difungsikan dalam wewenang karena dapat melahirkan loyalitas bawahan melaksanakan keputusan. Menurut Bauer (1992), pengambilan keputusan partisipatif meliputi banyak bentuk dan menekankan beberapa keyakinan umum atau premis. Pertama, keputusan partisipatif berarti lebih dekat kepada peserta didik dan tindakannya sehingga dibuat keputusan terbaik tentang pendidikan bagi peserta didik. Kedua, ¬guru, orang tua dan staf sekolah memiliki lebih banyak pendapat tentang kebijakan dan program yang mempengaruhi sekolah dan peserta didik. Ketiga, tanggung jawab pengambilan keputusan partisipatif memiliki kekuatan dalam menentukan keputusan.
Tujuan pengambilan keputusan partisipatif ialah untuk meningkatkan efektivitas sekolah dan pembelajaran dengan cara peningkatan komitmen staf dan menjamin bahwa sekolah lebih bertanggung jawab terhadap kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Keberhasilan peserta didik dan prestasi yang dicapai dipelihara dalam pencerahan pemikiran kita sebagai alasan untuk mengimplementasikan pemikiran tentang pengambilan keputusan partisipatif. Pengambilan keputusan partisipatif bertujuan untuk pergantian akuntabilitas kepada kekuatan staf, membuat sederhana pembagian pengambilan keputusan kepada yang lain.
Pengambilan keputusan partisipatif memiliki nilai potensial untuk meningkatkan mutu keputusan, mempermudah penerimaan keputusan dan pelaksanaannya, membangkitkan kekuatan moral staf, meneguhkan komitmen dan tim kerja, membangun kepercayaan, membantu staf dan administrator memperoleh keterampilan baru dan meningkatkan keefektifan sekolah.
Petunjuk yang disarankan oleh para perintis pengambilan keputusan bersama (partisipatif) sebagai berikut:
(1) Mulai dari yang kecil dan berjalan dengan pelan;
Banyak bukti yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam adopsi inovasi. Pengambilan keputusan partisipatif akan lebih berhasil jika diawali dengan langkah kecil daripada “perubahan menyeluruh” yang dianggap asing oleh warga sekolah. Caranya ialah menganalisis kebutuhan sekolah, mengadaptasi pemilihan proses yang memperhatikan situasi lokal, Komponennya dapat ditambahkan bila staf sudah siap;
(2) Setuju atas penataan yang khusus;
Tidak ada kebenaran “tunggal” dalam cara melakukan pengambilan keputusan bersama. Hal ini bergantung atas apa yang diinginkan dari kebersamaan, Banyak sekolah mengembangkan satu tim pengambilan keputusan/kelompok lain/komite sekoloh, Jika tidak ada mandat maka dapat diputuskan orang yang terlibat (bisa saja guru, pelajar, orang tua, anggota masyarakat). Ukuran kelompok dapat bervariasi dari sembilan sampai tujuh belas orang yang penting ada jaminan bahwa kelompok terwakili.
(3) Prosedur yang jelas mengenai peranan dan harapan;
Staf membutuhkan pengertian akan langkah-langkah dan prosedur untuk diikuti sebelum keputusan dibuat. Ketidakjelasan proses menciptakan kebingungan yang menimbulkan fragmentasi tindakan. Kejelasan proses memberdayakan anggota kelompok membutuhkan pengertian apakah mereka diikutkan membuat batang tubuh keputusan atau sebagai pemberi masukan saja. Hal ini akan mengurangi moral kelompok untuk berpikir membuat keputusan hanya mengambil keputusan demi kepentingannya semata.;
(4) Berikan kesempatan setiap orang untuk melibatkan diri;
Keputusan yang dibuat berdasarkan pemikiran administratif dalam menghadapi memilih atau kelompok sukarelawan mungkin mendahului sebagai keputusan dari atas ke bawah. Kedudukan para sukarelawan atau kekuatan tugas mereka memberikan peluang baginya untuk berpartisipasi sebanyak atau sesedikit mungkin sesuai yang diinginkan. Paling tidak, semua guru dan staf dapat mengaksesnya.
(5) Bangun kepercayaan dan dukungan;
Jika kurang kepercayaan dan penghargaan di antara administrator, guru dan staf dapat dipastikan pengambilan keputusan bersama kurang dapat diterima. Jangan menolak solusi kelompok atau lebih kuat memberikan keputusan kepada kelompok pengambil keputusan bersama. Derajat dukungan yang kurang juga menjadi gagal jika kultur luar sekolah tidak berubah.

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan dari seluruh hasil pembahasan untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal dalam pelaksanaan manajemen sekolah barbasis partisipasi masyarakat maka di sarankan :
1. Model manajemen sekolah berbasis partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya harus betul-betul memperdayakan masyarakat untuk mendukung kemajuan sekolah. Di era otonomi masih banyak masyarakat yang kurang berpartisipasi terhadap sekolah, mungkin disebabkan oleh latar belakang pendidikan mereka ataupun watak dan perilaku mereka yang acuh tak acuh terhadap sekolah, oleh karena itu sekolah memerlukan strategi khusus dalam penerapan model manajemen sekolah berbasis partisipasi masyarakat.
2. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah hendaknya dapat membuka diri dan menjaga hubungan baik antara sekolah dan masyarakat, karena tanpa hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat maka model manajemen sekolah berbasis partisipasi masyarakat tidak bias berjalan secara efektif dan efisien.
3. Dewan komite sekolah hendaknya bekerja secara maksimal dalam membantu kemajuan sekolah, bukan menjadi penghambat bagi sekolah.
4. Persoalan-persoalan sekolah begitu banyak antara lain : sarana prasarana sekolah, keuangan, kurikulum, tenaga pengajar, tenaga administrasi dan peserta didik, maka dari itu komite sekolah dan kepala sekolah bekerjasama dalam memecahkan persoalan sekolah yang salah satunya melibatkan masyarakat dalam penyelesaiannya melalui model manajemen sekolah berbasis partisipasi masyarakat, sebab manajemen berbasis sekolah adalah upaya mendelegasikan organisasi, manajemen dan tata kelola (governance) sekolah; menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi seluruh orang yang terlibat dalam manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai oleh adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional perlu dikembangkan.

Selasa, 13 September 2011

AKREDITASI, EVALUASI DIRI, SERTIFIKASI DAN TINDAK LANJUT

AKREDITASI, EVALUASI DIRI, SERTIFIKASI DAN TINDAK LANJUT
Telaah Reflektif Teoritis

Hamzah LPMP NTT

A. Pendahuluan
Persaingan lembaga pendidikan dalam era terakhir ini semakin ketat dengan sifat persaingan yang semakin meluas, tidak hanya lokal, tetapi juga nasional bahkan bersifat global. Untuk dapat tetap eksis dan berkembang dalam persaingan tesebut lembaga pendidikan dituntut memiliki nilai keunggulan yang bersifat berkelanjutan. Usaha untuk menuju ke arah tersebut upaya untuk selalu meningkatkan kualitas, baik institusi, proses, produk maupun outcome harus selalu dilakukan secara kontinyu dan berkelanjutan. Upaya tersebut akan dapat berjalan secara maksimal apabila didukung adanya evaluasi diri, akreditasi maupun sertifikasi.

Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu penilaian menyeluruh yang dilakukan oleh pemerintah atau badan akreditasi independen terhadap lembaga pendidikan untuk menentukan peringkat pengakuan pemerintah atau badan akreditasi resmi terhadap kualitas penyelenggaraan program pendidikan pada lembaga pendidikan. Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 60 menyebutkan bahwa: (1). Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2). Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (3).Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
Dengan demikian akreditasi merupakan evaluasi eksternal yang dilakukan terhadap suatu lembaga maupun program pendidikan. Dalam hal ini, akreditor merupakan evaluator eksternal yang karena pengaruhnya mencerminkan dan mewakili badan resmi negara yang ditugasi untuk mengevaluasi kebijakan publik pendidikan berdasarkan standar yang telah diputuskan oleh negara, maka keputusan legitimasinya berdampak pada pengakuan publik terhadap mutu lembaga pendidikan yang diputuskan. Oleh karena itu akreditasi merupakan suatu keputusan pengakuan status akuntabilitas terhadap program maupun lembaga pendidikan. Sebagai suatu proses, akreditasi memiliki 2 tujuan pokok, yaitu : (a).untuk menjamin akuntabilitas suatu program maupun suatu lembaga. (b).untuk mendorong peningkatan kualitas dan efektivitas suatu program maupun lembaga.

Evaluasi diri
Evaluasi diri (self evaluation) merupakan kegiatan refleksi terhadap keadaan diri sendiri berdasarkan data maupun fakta yang ada, baik itu kekuatan, keterbatasan, peluang/kesempatan dan ancaman (strength, limitation, opportunity and threat) yang dilaksanakan oleh para pelaksana program pada suatu lembaga (misalnya dosen, pejabat fakultas dan para guru pada institusi pendidikan). Evaluasi diri bertujuan untuk menilai segala situasi atau kondisi yang dihadapi lembaga saat ini dalam mencapai perkembangan yang dicita-citakan dan memetakan situasi perkembangan ideal yang dicita-citakan dan menetapkan strategi pengembangan program selanjutnya. Evaluasi diri juga merupakan usaha internal lembaga dalam meningkatkan efektivitas proses, memperbaiki input dan output serta meningkatkan mutu dan keterserapan outcomes. Dengan demikian evaluasi diri merupakan kegiatan evaluasi terhadap situasi dan kondisi suatu lembaga yang dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan (internal evaluation). Sebagai internal evaluation, obyektivitas, akurasi dan validitas data terletak pada kejujuran dan kekritisan diri sendiri dalam menemukan titik-titik krusial (keberhasilan maupun kegagalan) dalam perjalanan program lembaga sehingga dapat dirumuskan sendiri alternatif solusi perbaikan maupun pengembangan program ke depan berdasarkan analisis SWOT yang dilakukan. Bagi sustu lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, evaluasi diri biasanya menjadi bagian tahapan dari dan mendahului kegiatan akreditasi.

Sertifikasi
Sertifikasi merupakan suatu keputusan yang diberikan oleh lembaga maupun asosiasi profesi yang mengijinkan (licensure) seseorang untuk melaksanakan kegiatan profesioanl setelah orang yang bersangkutan dinilai mampu (kompeten) dan memenuhi syarat untuk menjalankan profesi tertentu sesuai dengan standar dan etika profesi yang bersangkutan. “Still another common use of assessment for certification purposes is the professional credentialing that occurs in field such as medicine, law, accounting, nursing and school teaching” (Astin, 1993 :12). Jadi keputusan tersebut merupakan pengakuan profesional dan diumumkan kepada publik luas bahwa suatu program atau individu kredibel dan akuntabel untuk melaksanakan kegiatan atau menjalankan profesinya.
Dilihat dari segi bentuknya, sertifikasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sertifikasi berbentuk ijazah dan sertifikasi kompetensi. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap restasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi, sedangkan sertifikasi kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 61).

Hubungan antara evaluasi diri, akreditasi dan sertifikasi
Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Pasal 57 UU yang sama menyebutkan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Berdasarkan pengertian evaluasi diri, akreditasi dan sertifikasi serta ketentuan pasal 57 UU No. 20 Tahun 2003 tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga istilah tersebut mempunyai hubungan fungsional dalam arti bahwa ketiga istilah tersebut merupakan bagian dari kegiatan dalam evaluasi pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan terhadap fihak-fihak yang memiliki kepentingan (stockholder maupun publik ). Sebagai bagian dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan ketiganya memiliki perbedaan pada sasaran, obyek maupun evaluator. Evaluasi diri merupakan internal evaluation dengan sasaran insititusi maupun program pendidikan dan obyek situasi dan kondisi institusi maupun program pendidikan yang bersangkutan. Dengan evaluasi diri akan diketahui kekuatan dan keterbatasan, peluang dan tantangan serta strategi dalam menghadapi peluang maupun tantangan bagi institusi maupun program pendidikan tertentu dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara jasa pendidikan. Evaluasi diri ini merupakan salah satu dasar dalam penentuan stratifikasi atau klasifikasi intitusi maupun program dalam kegiatan akreditasi.
Evaluator dalam evaluasi diri adalah insititusi maupun program pendidikan yang bersangkutan (internal evaluator). Akreditasi merupakan external evaluation dengan sasaran institusi maupun program pendidikan. Adapun obyeknya adalah kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh institusi maupun program pendidikan baik yang berupa input, proses, output, outcome, SDM dan manajemen yang dilaksanakan oleh institusi maupun program pendidikan tertentu. Dengan kegiatan akreditasi selain menghasilkan klasifikasi lembaga atau program pendidikan berdasarkan kriteria tertentu juga diperoleh peta kualitas lembaga penyelenggara pendidikan yang ada. Evaluator dalam akreditasi adalah evaluator eksternal baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga independen sebagai bentuk akuntabilitas publik. Sertifikasi merupakan external evaluation seperti akreditasi, tetapi sasarannya adalah individu.
Adapun obyek sertifikasi adalah prestasi belajar dan kompetensi dalam bidang pekerjaan tertentu. Evaluator dalam sertifikasi adalah evaluator eksternal, baik itu lembaga pendidikan di mana individu yang bersangkutan menyelesaikan pendidikannya maupun lembaga sertifikasi untuk kompetensi melaksanakan pekerjaan. Jika evaluasi diri bermaksud untuk menata dan memperbaiki perjalanan program agar lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan-tujuan selanjutnya, maka akreditasi merupakan keputusan badan akreditasi yang memberikan pengakuan akuntabilitas dan sertifikasi merupakan pengakuan lembaga pendidikan maupun lembaga sertifikasi terhadap kualitas profesionalisme individu dalam menjalankan profesinya. Dengan semikian ketiganya bermuara pada satu kepentingan yaitu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan sehingga lembaga pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan maupun para lulusannya diakui, didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Pentingnya evaluasi diri, akreditasi dan sertifikasi bagi suatu lembaga pendidikan.
Ketiga kegiatan tersebut penting dan harus dilakukan oleh lembagai pendidikan karena : (1). Lembaga pendidikan merupakan lembaga yang menawarkan jasa pendidikan kepada masyarakat. Untuk menarik masyarakat agar memanfaatkan jasa yang ditawarkan maka lembaga pendidikan harus mampu memberikan layanan yang berkualitas. Kualitas yang dijanjikan akan selalu dipantau oleh khalayak pengguna dan pendukungnya. Oleh karena itu lembaga pendidikan harus mampu menjamin akuntabilitasnya agar selalu mendapat dukungan dari masyarakat termasuk dukungan dana. (2). Stakeholder dan masyarakat selalu menuntut peningkatan kualitas dan efektivitas hasil program pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan harus selalu berrefleksi diri atas hasil-hasil, kemajuan, hambatan, keterbatasn, peluang maupun ancaman yang mereka capai/hadapi. Lembaga pendidikan harus terus-menerus mengevaluasi diri secara jujur, sampai sejauh mana mereka dapat memenuhi harapan masyarakat. (3). Akreditasi memberikan pengakuan kepada suatu lembaga pendidikan yang akan mempengaruhi pendapat publik untuk mendukung maupun tidak mendukung program lembaga. Akreditasi merupakan pengakuan pemerintah terhadap kualitas nilai suatu program di lembaga pendidikan. Pengakuan yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga akredtiasi independen akan meningkatkan kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya akan dapat memperoleh sumber-sumber dukungan dari masyarakat. (4). Sertifikasi memberikan jamiman kepada institusi maupun program pendidikan bahwa lulusannya diakui cakap untuk menjalankan tugas profesional.
Pengakuan profesional ini penting, karena lulusan program maupun lembaga pendidikan yang lulus uji sertifikasi akan mempunyai bekal resmi untuk memenuhi persyaratan kualitas yang ditentukan oleh lembaga kerja. Sertifikasi memberi pengakuan kapabilitas, kompeten dan profesioanal. Pengakuan ini dibutuhkan oleh program maupun lembaga pendidikan sehingga nilai jual produk yang ditawarkan tidak akan diragukan oleh masyarakat.

Tindak lanjut yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan terkait dengan evaluasi diri, akreditasi dan sertifikasi
Dengan adanya kegiatan evaluasi tersebut, lembaga pendidikan perlu menindak lanjuti dengan : (1). berusaha untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan. (2). mengajak seluruh staf lembaga pendidikan untuk selalu memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan profesional dalam rangka melayani kepentingan publik. (3). menerapkan konsep open management terhadap penyelenggaraan pendidikan yang ada dilembaganya sebagai salah satu bentuk akuntabilitas terhadap masyarakat. (4). evaluasi diri hendaknya dilaksanakan secara periodik (misalnya pada setiap akhir tahun akademik) sehingga dapat ditemukan upaya perbaikan sesegera mungkin atau dapat dijadikan masukan bagi peninjauan kembali program yang telah direncanakan dalam upaya memperbaiki program agar lebih adaptif dan implementasinya lebih efektif.

Kesimpulan
Dalam untuk lebih memacu lembaga pendidikan agar selalu berusaha meningkatkan kualitas dalam berbagai aspeknya serta dalam rangka lebih meningkatkan akuntabilitas kepada masyarakat, maka upaya adanya akreditasi dan sertifikasi terhadap lembaga pendidikan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Akreditasi maupun sertifikasi akan mencapai hasil yang maksimal apabila masing-masing lembaga pendidikan selalu melakukan evaluasi diri secara rutin dan berkelanjutan secara obyektif, jujur dan transparan. Ketidakjujuran dalam evaluasi diri selain menipu diri sendiri juga mengabaikan kepentingan masyarakat, karena secara formal administrative cukup bagus namun dunia nyata (real world) masih dipertanyakan.

Daftar Pustaka :
Gardiner, LF. (1994). Assessment anda Evaluation dalam Stark, J.S. & Thomas, A. Assessment and Program Evaluation. USA : Simon & Schuster Custom Publishing Millaard, RM. (1994).
Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendikan Nasional
Wolf,RA. (1994). Assessment and Acredition dalam Stark, J.S. & Thomas, A. Assessment and Program Evaluation. USA : Simon & Schuster Custom Publishing

PRAKTIK TERBAIK KEPALA SEKOLAH DALAM KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN SEKOLAH EFEKTIF

PRAKTIK TERBAIK KEPALA SEKOLAH DALAM KEPEMIMPINAN
DAN MANAJEMEN SEKOLAH EFEKTIF
( Suatu Telaah Reflektif Teoritis )
Oleh : Hamzah
Widyaiswara LPMP NTT



Abstrak : Rencana pengembangan sekolah berfungsi untuk memberikan arah pengelola pendidikan dalam mencapai tujuan sekolah dengan resiko sekecil-sekecilnya dan mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Pendekatan sistem adalah penggabungan pendekatan input-output dan pendekatan proses-output. Pendekatan input-output didasarkan pada anggapan bahwa keluaran pendidikan yang unggul diperoleh melalui masukan yang unggul. Komponen utama dalam pendekatan sistem adalah masukan dan proses, output dan outcome.
Masukan mentah adalah peserta didik, masukan instrumentalnya adalah kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, dana, dan organisasi, masukan lingkungan adalah dukungan orang tua peserta didik / masyarakat, dewan pendidikan, komite sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Komponen proses adalah proses manajemen, dan pengelolaan pembelajaran. Komponen keluaran adalah wujud nyata dari tujuan yang hendak dicapai baik kognitif, afektif maupun psikomotorik yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan spritual. Outcome merupakan prestasi lulusan yang melanjutkan pendidikan pada jenjang satuan pendidikan yang lebih tinggi dan atau masuk dalam dunia kerja. Pelaku proses manajemen memegang peranan dan strategis dalam mengelola masukan untuk menghasilkan keluaran yang mampu bersaing dengan hasil pendidikan negara-negara maju.

Kata-kata kunci : Komponen sekolah, Manajemen, Lingkungan.








PENDAHULUAN

Perencanaan sekolah adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan sekolah yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia. Rencana pengembangan sekolah adalah gambaran kegiatan ke depan, untuk mencapai tujuan sekolah. Rencana pengembangan sekolah merupakan wujud dari salah satu fungsi manajemen yang amat penting dimiliki sekolah. Rencana pengembangan sekolah berfungsi untuk memberikan bimbingan pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan sekolah, menghindari resiko sekecil-sekecilnya dan mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah.
Strategi pendekatan pengembangan sekolah yang masih relevan, salah satu di- antaranya adalah pendekatan sistem. Pendekatan ini masih di anggap relevan dan sesuai, bahwa keberhasilan sekolah di tentukan oleh komponen sekolah yang memiliki kemampuan. Komponen sekolah yang kurang memiliki kemampuan akan berdampak negatif, sehingga standar nasional pendidikan sulit dicapai. Pendekatan sistem adalah penggabungan pendekatan input output dan pendekatan proses output. Pendekatan input output didasarkan pada anggapan bahwa keluaran pendidikan yang unggul dapat diperoleh melalui masukan yang unggul (Seerley 1988). Pandangan ini bahwa peserta didik yang memiliki kemampuan kecepatan dan lambat belajar dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya. Pendekatan proses berdasarkan beberapa argumentasi antara lain menyatakan bahwa pada dasarnya proses, lingkungan, dan struktur sekolah yang menyebabkan terjadinya perbedaan prestasi akademik peserta didik (Witte dan Walsh 1990). Pendekatan sistem proses output dipadukan dalam suatu perencanaan pengembangan manajemen sekolah secara menyeluruh, dan terdokumentasi secara teratur dalam bentuk data base / buku / foto-foto / VCD.
Komponen utama pendekatan sistem adalah masukan dan proses, keluaran adalah output dan outcome. Masukan mentah adalah peserta didik, dan masukan instrumentalnya adalah kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, dana, dan organisasi. Masukan lingkungan adalah berupa dukungan orang tua peserta didik / masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Komponen proses adalah proses manajemen pengelolaan pembelajaran. Komponen keluaran adalah wujud nyata dari tujuan yang hendak dicapai baik kognitif, afektif maupun psikomotorik yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan spritual. Komponen outcome merupakan prestasi (keluaran) yang melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan atau masuk dalam bursa dunia kerja.
Pengembangan manajemen sekolah efektif perlu memperhatikan masukan dan proses, berkaitan dengan kemampuan awal peserta didik dan standar kompetensi yang hendak dicapai peserta didik.



































Standar nasional pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan merupakan standar minimal yang menjadi perhatian utama (pemetaan), bukan berarti bahwa sekolah-sekolah yang baik dan berprestasi hanya ditentukan dengan peserta didik yang memiliki kecerdasan, atau peserta didik yang memiliki tingkat kemampuan orang tua dalam bidang ekonomi yang diterima, dan bukan hanya sekolah-sekolah yang memiliki sarana prasarana yang serba cukup yang mampu menciptakan sekolah bermutu, meskipun masukan merupakan faktor penting dalam pengembangan dan manajemen sekolah.
Pelaku proses manajemen sekolah memegang peranan dan strategis dalam mengelola masukan untuk menghasilkan keluaran yang mampu bersaing dengan hasil pendidikan negara-negara maju. Fuller (1987) dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa organisasi sekolah memiliki pengaruh yang besar terhadap prestasi akademik peserta didik, walaupun organisasi memiliki keterbatasan fasilitas. Witte dan Walsh (1990) menegaskan bahwa proses pembelajaran terjadi dalam konteks skala besar dipengaruhi oleh organisasi sekolah. Oleh karena demikian maka prestasi akademik tidak hanya menganalisi hasil proses pembelajaran yang terpisah dengan manajemen sekolah. Komponen sekolah diyakini berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik di kelas maupun diluar kelas. Komponen sekolah menurut Hoy dan Miskel (1987) perlu di fungsikan secara optimal untuk menjadikan sekolah-sekolah yang lebih efektif dan efisien.

MENAJEMEN SEKOLAH EFEKTIF
Kemampuan mengelola berbagai aspek dapat memberikan konstribusi positif dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik, dan merupakan salah satu karakteristik manajemen sekolah efektif. Ada dua hal yang di identifikasi yang menjadi bahan kajian tentang karakteristik manajemen sekolah efektif : pertama kajian yang memusatkan pada analisis terhadap karakter manajemen tertentu yang dapat memberikan ciri sekolah efektif, antara lain karakter budaya organisasi sekolah, proses pembuatan keputusan, perubahan organisasi dan manajemen sekolah, perilaku kepemimpinan kepala sekolah, dan efektifitas proses pembelajaran; kedua analisis dan kajian karakter umum sekolah meliputi : perencanaan dan pengembangan sekolah, iklim dan budaya sekolah, pemantauan kemajuan hasil belajar peserta didik, kepemimpinan dan manajemen kepala sekolah, pengembangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, pengembangan kesiswaan, pemberdayaan orang tua murid, masyarakat dan komite sekolah, penghargaan dan insentif, peraturan dan kedisiplinan, pengembangan dan pelaksanaan kurikulum, dan akuntabilitas sekolah. Apabila indikator ini di laksanakan dengan tekat dan tanggungjawab bersama, maka akan mendukung kemajuan sekolah dan pengembangan proses pembelajaran akan berjalan secara efektif.



































PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH
Perencanaan pengembangan sekolah akan berjalan baik jika kepala sekolah memiliki kemampuan dan keterampilan dalam membangun tim kerjasama yang solit dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) untuk mencapai sesuatu yang ideal (harapan) masa depan. Penyelenggara / pengelola pendidikan di tuntut memiliki kemampuan merencanakan pengembangan sekolah efektif. Sekolah yang efektif memiliki program, yang dirumuskan ke dalam rencana strategik pengembangan sekolah efektif. Program strategik sekolah sekurang-kurangnya memuat Visi, Misi, tujuan, kegiatan, waktu, sasaran, dan kebijakan yang dalam pelaksanaannya memiliki target yang dicapai,
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum penyusunan perencanaan pengembangan sekolah adalah, identifikasi dan analisis masalah dengan melibatkan semua komponen yang berkepentingan, (stakeholders), antara lain tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua peserta didik, komite sekolah, dewan pendidikan, peserta didik, dinas pendidikan (pengawas sekolah), organisasi profesi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk mendukung kemajuan sekolah. Jika komponen tersebut tidak dilibatkan secara penuh, maka sulit untuk mendapatkan dukungan, dan memang tidak bisa dicapai apabila tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Perencanaan pengembangan sekolah efektif memiliki karakteristik yang dapat di- ukur dengan indikator sebagai berikut : (1) Sekolah memiliki program tahunan, menengah dan jangka panjang, (2) Sekolah memiliki visi, misi tujuan, menantang dan bersifat inovatif, (3) Sekolah memiliki strategi pelaksanaan program dan konsisten dalam mencapai standar nasional pendidikan, (4) Sekolah memiliki Rencana Anggaran dan Belanja Sekolah yang teratur, (5) Sekolah memiliki wadah guru yang eksis di tingkat sekolah yang dalam kegiatannya berdiskusi dan berkolaborasi menyusun program pembelajaran bersama, (6) Sekolah memiliki program perioritas pengembangan dan peningkatan kompetensi peserta didik, (7) Sekolah Memiliki Hari Efektif pembelajaran, (8) Sekolah memiliki daftar pembagian tugas pokok dan tambahan bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, (9) Sekolah memiliki daftar pembagian tugas piket dan daftar hadir, (10) Sekolah memiliki struktur organisasi, (11) Sekolah memiliki data base Buku induk pengawai dan peserta didik yang terisi dengan rapi, (12) Sekolah memiliki data rekapitulasi peserta didik diterima dan tidak diterima, data peserta didik perkelas, prosentase kenaikan kelas, kelulusan dan drop aut. (13) Sekolah memiliki dokumen penting yang tersimpan dengan teratur.

IKLIM DAN BUDAYA SEKOLAH
Sekolah yang efektif adalah sekolah yang memiliki lingkungan dan iklim budaya yang konduksif untuk belajar (Reynolds 1990). Lingkungan sekolah yang konduksif adalah lingkungan yang sengaja di ciptakan untuk memberikan suasana proses pembelajaran berlangsung aman, nyaman, tertib dan terkoordinasi dengan baik. Iklim dan budaya sekolah yang konduksif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, guru merasa diri dihargai, orang tua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend 1994).
Iklim dan budaya sekolah yang konduksif adalah iklim sekolah yang memiliki aturan, nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh semua komponen sekolah. Oleh karena demikian maka komponen sekolah harus memiliki komitmen dalam melaksanakannya, sehingga berdampak positif dalam mengembangkan iklim dan budaya sekolah yang konduksif.
Membangun iklim dan budaya kerja yang positif harus dikaitkan dengan memompa peluang dan harapan besar kepada semua komponen sekolah untuk berprestasi. (Moedjiarto 1990) dalam penelitiannya mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Harapan yang tinggi yang di transmisikan di dalam kelas berperan dalam meningkatkan ekspektasi siswa terutama keinginan untuk meningkatkan prestasi akademik mereka ( Mortimore 1993). Memompa peluang dan harapan standar untuk berprestasi yang tinggi bagi komponen sekolah hendaknya memiliki (1) keyakinan bahwa semua peserta didik belajar aktif, (2) tanggungjawab yang tinggi dalam membelajarkan peserta didik, (3) harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, (4) Harapan yang tinggi terhadap perbaikan proses pembelajaran dan (5) pemberian perhatian tinggi terhadap peserta didik yang lambat belajar dan percepatan belajar.
Karakteristik budaya dan iklim sekolah yang efektif memiliki indikator yang dapat diukur di antaranya (1) Sekolah memiliki tujuan yang dapat diukur,(2) Fasilitas yang dimiliki sekolah yang dikategorikan berat, sedang dan ringan dirawati dan segera diperbaiki atau mengganti dengan fasilitas yang baru, (3) Menampilkan fisik sekolah yang bersih, rapi, aman dan nyaman, (4) Halaman sekolah di tata sesuai dengan kondisi dan lingkungan yang dapat memberikan kesan asri, dan indah dipandang, (5) Menampilkan papan informasi yang berisi pesan positif yang dipajangkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh seluruh komponen sekolah, (6) Menanamkan rasa percaya diri kepada seluruh komponen sekolah sehingga mampu menunjukkan sikap rasa memiliki dan bangga terhadap sekolah, (7) Semua ruangan di tata dengan baik meskipun sarana prasarana terbatas, sehingga tercipta suasana peserta didik belajar aktif dan bertahan di sekolah, (8) Kegiatan lain terjadwalkan dengan baik sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran, (9) Mengatur peralihan kegiatan pembelajaran dengan jadwal pembelajaran umum untuk membantu kelancaran antar kegiatan di kelas maupun diluar kelas, (10) Tenaga pendidik mau membuka diri dan menerima informasi untuk memperbaiki cara-cara membelajarkan peserta didik dengan metode / strategi pembelajaran yang bervariatif, (11) Menciptakan suasana kekeluargaan, ketertiban, kedisiplinan, kebersamaan, ketekunan, kerukunan, kepedulian, keselamatan, keserasian, keseimbangan, keselarasan, keharmonisan dan kesehatan. (13 K), (12) Menampilkan suasana harapan dan peluang untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk mencapai standar nasional pendidikan (prestasi) (13) Sekolah menampilkan suasana asah asih dan asuh meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, bahwa pentingnya belajar sepanjang hayat dan alasan pentingnya bersekolah, (14) Seluruh komponen sekolah komitmen dan konsisten dalam mengembangkan budaya mutu, (15) Sekolah memiliki target yang jelas dan mensosialisasikan kepada orang tua murid dan masyarakat.

PEMANTAUAN KEMAJUAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK
Pemantauan kemajuan belajar siswa merupakan suatu prosedur vital, sebagai kegiatan pendahuluan untuk merencanakan strategi pembelajaran, mengubah strategi/ metode / menambah / mengurangi beban kerja ( Mortimore 1993). Secara umum bahwa pemantauan hasil belajar peserta didik merupakan suatu kegiatan yang perlu dilakukan secara berkesenambungan untuk mengetahui tingkat perubahan kecerdasan peserta didik dan penguasaan terhadap kompetensi yang dicapainya pada setiap tahapan / semester (pemetaan standar kompetensi ketuntasan belajar peserta didik) dari sesuatu yang ideal (hapan) dan dari kenyataan ( aktual).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 menyatakan bahwa penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas (a) Penilaian hasil belajar oleh pendidik (b) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah dan (c) Penilaian hasil belajar oleh pemerintah melalui Ujian Nasional (UN). Pemantauan hasil belajar peserta didik untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan pemetaan dan perbaikan program pembelajaran, penentuan ketuntasan belajar peserta didik, dan pemberian bantuan dan bimbingan kepada peserta didik yang lambat belajar melalui program perbaikan, dan pemberian bantuan dan bimbingan bagi peserta didik yang memiliki percepatan belajar melalui program pengayaan. Secara khusus pemantauan kemajuan belajar peserta didik, perlu dilakukan secara konsisten dan kontinyu berperan sebagai dasar untuk memberikan balikan kepada siswa ( Reynolds 1990). Kriteria perlu diperhatikan aktivitas pekerjaan rumah yang diberikan kepada siswa terutama yang berkaitan dengan seberapa banyak pekerjaan rumah yang selayaknya diberikan kepada siswa dan penilaian dan balikan yang diberikan (Witte dan Walsh 1990).
Pemantauan kemajuan hasil belajar peserta didik memiliki karakteristik yang dapat diukur dengan indikator: (1) Kriteria penilaian ketuntasan belajar yang disepakati bersama, dan mekanisme penentuan kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik sesuai peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 pasal 72 ayat (1) dan mensosialisasikan kepada seluruh komponen sekolah, (2) Menganalisis hasil ulangan, ujian semester, ujian sekolah maupun ujian nasional untuk mengetahui ketuntasan belajar peserta didik dalam penguasaan kompetensi, (3) Memanfaatkan hasil analisis hasil belajar peserta didik sebagai bahan pertimbangan perbaikan program pembelajaran, (4) Prestasi belajar peserta didik di laporkan kepada semua komponen sekolah dan pihak terkait lainnya, (5) Memiliki jadwal rencana evaluasi secara teratur, (6) Pendataan informasi dengan menggunakan komputer, (7) Sekolah memiliki daftar nilai kolektif peserta didik, (8) Sekolah memiliki hasil pemetaan prestasi belajar peserta didik, (9) Sekolah memiliki hasil pemetaan prestasi pengembangan diri peserta didik dalam bidang-bidang tertentu, (10) Sekolah memiliki pemetaan standar kompetensi lulusan (SKL), (11) Sekolah memiliki pemetaan kedisiplinan komponen sekolah di dalam dan di masyarakat sekitarnya, (12) Sekolah memiliki pemetaan kehadiran peserta didik dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah.

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
Hasil penelitian Heck dkk (1991) mengungkapkan bahwa prestasi akademik dapat diprediksi berdasarkan pengetahuan terhadap perilaku kepemimpinan pengajaran kepala sekolah. Perilaku kepemimpinan yang efektif memiliki pengaruh terhadap semua aspek kinerja sekolah. Kepemimpnan kepala sekolah secara internal mampu mengelola proses pembelajaran, beperan aktif dalam kegiatan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, memantau kemajuan sekolah, menyediakan waktu dan tenaga yang lebih banyak untuk memperbaiki kinerja sekolah, memberikan dukungan positif kepada komponen sekolah, kreatif dan inovatif dalam mencari sumber dana untuk kemajuan sekolah, berani mengambil resiko, mengelola konflik, selektif mendatangkan tenaga-tenaga yang berpengalaman dalam melatih tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah, dan bekerjasama dengan berbagai komponen terkait lainnya. Proses kepemimpinan mencakup dua dimensi pokok yakni gaya kepemimpinan, dan tanggungjawab. Gaya kepemimpinan yang bersifat situasional yang cenderung lebih fleksibel terhadap kondisi sekolah. Karakteristik kepemimpinan situasional didasarkan pada anggapan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik, melainkan tergantung pada situasi dan kondisi komponen sekolah. Situasi dan kondisi komponen sekolah yang dimaksud adalah tingkat keragaman kemampuan komponen sekolah. Tingkat kemampuan komponen sekolah dapat dilihat dari dua hal, yakni tingkat pengetahuan dan keterampilan dan kemauan bekerja keras ( tanggungjawab dan komitmen). Apabila kedua hal tersebut dikombinasikan dalam pelaksanaannya akan dapat mengetahui tingkat kematangan seseorang, jika tingkat kematangannya rendah, lebih cocok dipimpin dengan gaya efektif, bila tingkat kematangannya rendah dan sedang lebih cocok dengan gaya kepempinan yang bersifat konsultatif, jika tingkat kematangannya sedang dan tinggi lebih cocok di bawah gaya kepemimpinan partisipatif, sedangkan tingkat kematangannya tinggi, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan yang besifat delegatif (DR. Abi Sujak 2005)
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif memiliki karakteristik yang dapat di ukur dengan indikator sebagai berikut: (1) Kepemimpinan yang mampu mewujudkan iklim sekolah yang memiliki ciri : keadaan peserta didik yang ceriah, semangat guru yang tinggi, sikap positif guru terhadap kemajuan belajar peserta didik tinggi, semua komponen sekolah merasa bangga terhadap sekolah, dan memiliki harapan yang tinggi terhadap kemajuan akademik dan non akademik dan perilaku peserta didik, (2) Kepala sekolah memiliki kepribadian dan pengetahuan yang mencakup keterbukaan, kejujuran, percaya diri, tanggung jawab, berjiwa besar, stabil emosi dan teladan, kemampuan memahami situasi dan kondisi pendidik dan tenaga kependidikan, memahami kondisi peserta didik dan berkemauan keras untuk belajar sepanjang hayat dalam mengembangkan dirinya, (3) Kepala sekolah mampu memperdayakan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan; memberi kesempatan kepada tenaga pendidik dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan kompetensi profesinya; dan mendorong partisipasi seluruh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan untuk memajukan sekolah, (4) Kepala sekolah memiliki komitmen dalam membina mental, moral, fisik dan arsistik, (5) Kepala sekolah memiliki kemampuan dalam mengelola kurikulum, administrasi pembelajaran, bimbingan dan konseling, laboratorium, perpustakaan, kesiswaan, kegiatan ekstrakurikuler, komunikasi hubungan baik dengan tenaga pendidik, orang tua peserta didik, dan peserta didik, mampu mengelola administrasi personalia (administrasi tenaga guru, pegawai tata usaha, penjaga sekolah, teknisi); mengelola administrasi sarana prasarana (administrasi gedung dan ruang, meubeler, alat kantor, bahan pustaka, alat laboratorium, alat bengkel; mengelola administrasi kearsipan (surat masuk, surat keluar, surat keputusan, surat edaran, dan mampu mengelola administrasi keuangan (keuangan dari pemerintah, keuangan dari masyarakat dan orang tua peserta didik, mampu menyusun proposal untuk mendapatkan bantuan keuangan, dan bantuan dana tidak mengikat); (6) Kepala sekolah memiliki kemampuan menyusun, melaksanakan, dan memanfaatkan hasil supervisi pendidikan meliputi supervisi kelas, kegiatan ekstra kurikuler, perpustakaan, laboratorium, ujian, memahami visi dan misi sekolah, pelaksanaan program untuk mewujudkan visi dan misi; kemampuan mengambil keputusan; dan kemampuan berkomunikasi lisan dan tertulis dengan warga sekolah, orang tua peserta didik, dan masyarakat; (7) Kepala sekolah menunjukkan sikap perilaku menjadi contoh dan suri teladan yang baik bagi semua komponen sekolah, (8) Kepala sekolah harus transparan, akuntabel dan profesional dalam pengelolaan keuangan, (9) Kepala sekolah memiliki tim kerja yang efektif, (10) Kepala sekolah menjamin kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan, (11) Kepala sekolah memiliki komitmen terhadap penjaminan mutu lulusan sekolah terstandar, (12) Kepala sekolah memberikan peluang dan memperdayakan semua komponen sekolah.

PENGEMBANGAN TENAGA PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pengembangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan perlu diupayakan dari tahun ketahun untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dan diyakini bahwa tenaga pendidik dan tenaga kependidikan mampu mempertahankan prestasi sekolah. Salah satu indikator kebehasilan sekolah adalah lulusan yang terstandar sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Lulusan yang terstandar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pendidik yang profesional. Tanpa mengurangi keberadaan pendidik profesional, bahwa keberadaan sebagian pendidik dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan kurang memiliki kemampuan, (terutama di daerah terpencil). Sebagian dari mereka masih dipandang kurang mampu melaksanakan tugas dan fungsi secara optimal.
Peran dan fungsi pendidik tidak hanya dituntut sebagai penyaji materi pembelajaran, tetapi dituntut berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, dan manager dalam proses pengelolaan pembelajaran. Banyak fakta yang mengindikasikan bahwa sebagian guru kurang mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Hal ini akan menjadi penghambat pencapaian standar nasional pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pentingnya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik melalui workshop /training of trainers (TOT) yang dilakukan secara sistimatis, dan efisien.
UURI No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 44 ayat (1) mengamanatkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan perlu secara terus menerus diupayakan untuk mrncapai standar nasional pendidikan. UURI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 4 menegaskan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional; Pasal 6 menegaskan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Bertolak dari peraturan perundang-undangan tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk meningkatkan profesional pendidik dan tenaga kependidikan. Peningkatan profesional tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru perlu dilakukan secara terus menerus, mengingat semakin meningkatnya tuntutan mutu pendidikan dari masyarakat yang terus berkembang. Semakin tingginya profesional guru akan semakin tinggi kemungkinan meningkatnya mutu pembelajaran. Meningkatnya kemampuan profesional guru, diyakini bahwa pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dalam upaya mencapai standar nasional pendidikan.
Desentralisasi pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Bentuk nyata dari desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah diberikannya kewenangan sekolah untuk mengambil keputusan yang berkenaan dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan komponen sekolah melalui Workshop / Training of Trainrs (TOT) / supervisi dan asistensi pembinaan secara bertahap untuk menfasilitasi peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan tenaga kepenidikan yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan kompetensi sosial. Keempat kompetensi pokok tersebut saling kait mengait dan tidak terpisahkan satu sama lainnya, sehingga dapat membentuk sosok guru yang profesional dan mampu meningkatkan kinerja secara berkesenambungan.
Pengembangkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan memiliki karakteristik yang dapat di ukur dengan indikator sebagai berikut : (1) Sekolah memiliki hasil analisis kebutuhan meliputi analisis kesenjangan, penyebab, kenyataan, kelemahan, kekuatan, peluang, alternatif pemecahan, harapan tujuan, dan ancaman di sekolah sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam pengembangan tenaga pendidik, (2) Memiliki program unggulan pengembangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai kebutuhan dan pemenuhan tenaga pendidik, (2) Memiliki program pembinaan mental dan spiritual komponen sekolah, (3) Memiliki program supervisi dan asistensi pembinaan peningkatan kemampuan tenaga pendidik dalam membuat perangkat pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran bermutu, (4) Memiliki program kerjasama dengan pihak-pihak terkait, (5) Memiliki program pemetaan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, (6) Memiliki data base profil sekolah yang mencakup berbagai aspek, (7) Memiliki data pemetaan kekurangan dan kelebihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, (8) Memiliki wadah kelompok kerja guru (KKG) yang eksis / musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) yang eksis tingkat sekolah sebagai farum pengembangan profesional, bakat dan minat tenaga pendidik, (9) Memiliki program tindak lanjut hasil-hasil diklat / workshop / Training of Trainers (TOT) di tingkat sekolah yang di ikuti oleh semua komponen sekolah, (10) Memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah dan berbagi pengalaman dengan sekolah lain dalam mengatasi masalah, (11) aktif menulis karya ilmiah dalam bentuk artikel yang disebarluaskan melalui media/ surat kabar, makalah, atau dalam bentuk laporan penelitian tindakan kelas (PTK), (12) Sekolah memiliki penyediaan sarana prasarana penunjang kelancaran kegiatan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
PENGEMBANGAN KESISWAAN
Secara umum pengembangan kesiswaan mencakup beberapa aspek, antara lain: keterlibatan peserta didik dalam kehidupan sekolah, dan aspek pelayanan pengembangan diri peserta didik. Keterliban peserta didik dalam kehidupan sekolah memiliki hubungan signifikan dengan prestasi akademik awal peserta didik. Asumsi ini didasari proses pembelajaran hanya mungkin terjadi bilamana siswa mempunyai pandangan yang positif terhadap pembelajaran dan peranan mereka didalamnya (Mortimore 1993). Bentuk keterlibatan peserta didik banyak ragam, namun secara umum dapat dilakukan melalui kegiatan kokurikuler sebagai salah satu program strategik kebijakan sekolah. Pusat dan fokus aktivitas pembelajaran adalah peserta didik. Peserta didik merupakan subyek terutama yang belajar. Berhasil atau tidaknya proses pembelajaran tergantung dari persiapan tenaga pendidik dan peserta didik untuk belajar. Optimalisasi kesiapan belajar dan kemampuan belajar menjadi salah satu kunci keberhasilan proses pembelajaran. Sekolah yang efektif harus menyediakan ragam program dan aktivitas pelayanan yang dapat mendukung (student Support Services). Ragam program dan aktivitas pelayanan diarahkan untuk membantu peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi dirinya secara benar, baik dalam lingkungan sekolah maupun dilingkungan masyarakar.
Pelayanan pendukung peserta didik dapat dikoordinasikan langsung dengan progam layanan bimbingan dan konseling. Pelayanan mencakup bimbingan belajar, bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan karier, dan bimbingan spritual. Operasionalisasi kegiatan mencakup bentuk layanan responsif, bimbingan pembelajaran, orientasi, informasi, kelompok, mediasi, penempatan/ penyaluran, dan bantuan bimbingan ketuntasan belajar.
Pengembangan kesiswaan memiliki karateristik yang dapat di ukur dengan indikator sebagai berikut: (1) Peserta didik memiliki komitmen untuk memberikan masukan dalam memperbaiki program kebijakan sekolah (2) Sekolah memiliki jalur komunikasi terbuka untuk tenaga pendidik dan peserta didik, (3) Sekolah memiliki program kegiatan kesiswaan, (4) Sekolah memiliki program kegiatan ektrakurikuler untuk mengembangkan bakat, minat dan kreatif peserta didik tanpa diskriminasi, jenis kelamin, suku, agama, ras dan golongan, (5) Sekolah memiliki program alokasi waktu yang cukup untuk peserta didik dalam praktik terbimbing dengan menggunakan konsep dan strategi baru (6) Sekolah memiliki aturan untuk tenaga pendidik yang berhalangan masuk sekolah untuk memberikan tugas kepada peserta didik, (7) Sekolah memiliki strategi yang bervariatif dalam melibatkan peserta didik aktif dalam proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas, (8) Sekolah memiliki nilai, norma, dan moral yang mewajibkan tenaga pendidik bersifat demokratis dan kejernihan dalam pikiran terhadap pendapat peserta didik baik pendapat yang benar maupun yang keliru, (9) Sekolah memiliki ruang khusus untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling terhadap semua peserta didik baik layanan secara individual, klasikal maupun secara kelompok, (10) Sekolah memiliki program khusus untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan belajar peserta didik, (11) Sekolah memiliki program pemantauan terhadap kesulitan belajar peserta didik, (12) Sekolah memiliki program layanan bimbingan khusus bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar dan lambat belajar, (13) Sekolah memiliki aturan yang mengajurkan tenaga pendidik wajib berlaku adil kepada semua peserta didik, baik yang cerdas maupun yang lambat belajar, (14) Sekolah memiliki struktur program pembagian tugas tenaga konselor dan tenaga pendidik yang terkoordinasi dengan baik,(15). Sekolah memiliki struktur pembagian tugas yang wajib dilaksanakan oleh orang tua untuk membantu dan membimbing anak di rumah, (16) Sekolah memiliki program pilihan bagi peserta didik yang memiliki bakat dan minat pada bidang-bidang tertentu, (17) Sekolah memiliki program pembagian tugas dalam bimbingan kegiatan ekstrakurikuler dalam mengembangkan intelektual, kecerdasan, emosional, spritual, bakat, dan minat peserta didik, (18) Sekolah menyediakan sarana prasarana penunjang pengembangan kesiswaan.

PEMBERDAYAAN ORANG TUA DAN MASYARAKAT
Pemberdayaan orang tua dan masyarakat merupakan stimulus eksternal yang dapat memainkan peranan penting dalam mendukung kemajuan sekolah. Orang tua peserta didik, komite sekolah dan masyarakat adalah merupakan perwakilan pihak-pihak berkepentingan dengan pendidikan yang dapat memberikan dukungan moril maupun material untuk meningkatkan prestasi sekolah. Keterlibatan orang tua dalam memberikan bantuan bimbingan belajar dan menanamkan kedisiplinan kepada peserta didik, merupakan bentuk kerjasama yang perlu di pertahankan dan ditingkatkan secara terus menerus oleh sekolah.
Memperdayakan orang tua peserta didik dan masyarakat secara optimal dengan tujuan untuk memberikan dukungan dan kemajuan sekolah. Menurut Kepmendiknas No 044/U/2002, pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di sekolah diwadahi oleh komite sekolah yang sifatnya mandiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki dengan lembaga pemerintahan. Pembentukan komite sekolah dengan tujuan : (1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat, (2) meningkatkan tanggungjawab dan peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan, (3) menciptakan situasi dan kondisi transparan, akuntabilitas, dan demokratis dalam menyelenggarakan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.dan (4) memberikan masukan dan pertimbangan dalam mengambil kebijakan pengembangan dan peningkatan prestasi sekolah. Oleh karena itu komponen sekolah harus memiliki kemampuan dan komitmen dalam meningkatkan pemahaman orang tua peserta didik dan masyarakat sekitarnya untuk mendudukung kemajuan sekolah.
Pemberdayaan orang tua dan masyarakat memiliki karakteristik yang dapat dukur dengan indikator kegiatan sebagai berikut : (a) Sekolah Memiliki program menjalin kerjasama dan berkomunikasi yang baik dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya, (b) Komite sekolah memiliki program dalam mendukung pelaksanaan program sekolah, (c) Sekolah memiliki program kegiatan pemberdayaan orang tua dan masyarakat, (d) Sekolah memiliki aturan yang mengatur kewenangan orang tua peserta didik dan masyarakat untuk mengunjungi sekolah dalam melakukan kegiatan observasi dan asistensi pembinaan peningkatan program pendidikan, (e) Sekolah memiliki jadwal pertemuan rutin dengan orang tua dan masyarakat untuk melaporkan perkembangan dan kemajuan belajar peserta didik, (f) Sekolah memiliki program pemantauan bersama orang tua, dan masyarakat yang berhubungan dengan kesulitan belajar peserta didik di rumah, (g) Sekolah memiliki perogram kepedulian yang tinggi dalam melibatkan orang tua dan masyarakat terhadap pengambilan keputusan (h) Sekolah memiliki aturan yang mengatur kewenangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan untuk berkomunikasi efektif dalam memberikan informasi kemajuan belajar peserta didik kepada masyarakat baik keunggulan, maupun kekurangan yang dihadapi peserta didik di sekolah, (i) Sekolah memiliki kepedulian yang tinggi dalam meningkatkan pemahaman orang tua peserta didik dan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mempromosikan program-program unggulan sekolah di lingkungan masyarakat sekitarnya (j) Sekolah, komite sekolah dan masyarakat memiliki pembagian tugas yang jelas, sehingga komite sekolah dan masyarakat berperan aktif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
PENGHARGAAN DAN INSENTIF
Penghargaan dan intesif bagi tenaga pendidik dan peserta didik berprestasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan oleh kepala sekolah / penyelenggara/ pengelola pendidikan untuk mendorong efektivitas komponen sekolah. Penghargaan dan insentif dalam penelitian Moedjiarto (1990) menemukan signifikan pemberian penghargaan dan insentif bagi tenaga pendidik dan peserta didik berprestasi. Sekolah yang sukses adalah sekolah yang menyadari bahwa pemberian penghargaan kepada tenaga pendidik dan peserta didik, jauh lebih penting ketimbang menghukum dengan cara-cara yang tidak bersifat mendidik. Pemberian penghargaan di artikan sebagai pemberian motivasi dalam meningkatkan citra diri (self image) yang positif. Penghargaan dan insentif dengan tujuan adalah mengubah perilaku untuk bertindak yang benar. Mortimore dkk (1993) mengidentifikasi beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah efektif dalam pemberian penghargaan dan insentif kepada tenaga pendidik dan peserta didik berprestasi: pemberian penghargaan kepada individu yang menunjukkan prestasi atau perilaku yang baik. Bentuk penghargaan yang diberikan kepada guru adalah penghargaan atas jasa dan prestasinya berupa material, hadiah, piagam, sertifikat, satya lencana. Penghargaan bagi peserta didik berupa pembebasan uang sekolah / komite dalan jangka waktu tertentu atau dalam bentuk lain. Penghargaan non materil diberikan dalam bentuk nominasi tenaga pendidik dan peserta didik terbaik secara berkala melalui program tahunan, semester, bulanan, dan mingguan, yang pada akhirnya, semangat kerja tenaga pendidik meningkat dan prestasi belajar peserta didik mengalami kemajuan.
Sistem pemberian penghargaan dan insentif kepada tenaga pendidik dan peserta didik berprestasi memiliki karakteristik yang dapat di ukur dengan indikator sebagai berikut : (1) Sekolah memiliki pedoman pemberian penghargaan dan insetif bagi tenaga pendidik dan peserta didik berprestasi, (2) Sekolah memiliki dokumentasi pemberian penghargaan kepada tenaga pendidik dan peserta didik berprestasi di tingkat sekolah, (3) Sekolah memiliki dokumentasi penerimaan penghargaan bagi tenaga pendidik, dan peserta didik berprestasi dari dinas pendidikan kabupaten/ kota, (4) Sekolah memiliki prosedur penentuan dan penetapan pemberian penghargaan dan hadiah berdasarkan prestasi, (5) Sekolah memiliki kepedulian terhadap tenaga pendidik untuk memberikan insentif, (6) Sekolah memiliki kepedulian untuk memberikan dukungan kepada tenaga pendidik dan peserta didik yang mendapat penghargaan atas prestasinya, (7) Sekolah memiliki kepiawaian untuk memproposikan keunggulan kinerja tenaga pendidik berprestasi dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan karir melalui program-program baru.
TATA TERTIB DAN KEDISIPLINAN
Salah satu dalam mengupayakan sekolah yang efektif adalah menciptakan ketertiban kehadiran dan kedisiplinan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bagi semua komponen sekolah. Moedjiarto (1990) dalam penelitiannya mengung¬kap¬kan bahwa karakteristik tata tertib dan kebijakan disiplin sekolah mem¬pu¬nyai hu¬bungan yang signifikan dengan prestasi akademik siswa. Pada prinsipnya bahwa tata tertib dan kedisiplinan merupakan harapan yang dinyatakan secara tertulis yang mengatur perilaku komponen sekolah, prosedur, dan sanksi-sanksinya. (Moedjiarto, 1990) mengemukakan dua dimensi penting ke¬disiplinan yang dilaksa¬nakan dalam sekolah efektif, yaitu: (1) persetu¬ju¬an kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan disiplin seko¬lah, dan (2) dukungan yang diberi¬kan ke¬pa¬da guru bilamana mereka melaksanakan peraturan disiplin sekolah.
Pengembangan tata tertib dan kedisiplinan sekolah memiliki karakteristik dan indikator yang dapat di ukur antara lain: (1) Sekolah memiliki peraturan tertulis yang menetapkan tingkah laku tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dan peserta didik yang bisa diterima dan sanksi-sanksinya, (2) Sekolah memiliki komitmen untuk melibatkan semua komponen sekolah dalam penyusunan tata-tertib sekolah, (3) Sekolah memiliki program observasi dan asistensi pembinaan kepada setiap komponen sekolah yang melanggarnya, (4) Sekolah memiliki aturan yang menganjurkan tenaga pendidik untuk memberikan tugas bersifat mendidik kepada peserta didik yang tidak disiplin, (5) Sekolah memiliki kreativitas dalam menyebarluaskan peraturan / tata tertib sekolah dan memajangkannya dilokasi yang mudah dibaca oleh semua komponen sekolah, (6) Sekolah memiliki jadwal sosialisasi dan penerapan tata-tertib terutama difokuskan pada upaya membantu peserta didik untuk memahami dan mampu menyesuaikan diri dengan tata-tertib sekolah, (7) Sekolah memiliki program memberikan dukungan kebijakan dari orang tua peserta didik dan masyarakat untuk meningkatkan disiplin sekolah. (8) Sekolah memiliki aturan hukuman dan sanksi diberikan disertai dengan penjelasan / alasan dan maksud positif dari pengam¬bilan tindakan, (9) Sekolah memiliki pernyataan bersama untuk menegakkan tata tertib sekolah merupakan bagian yang terintegral dalam upaya membangun budaya perilaku, beretika dan bersikap disiplin, baik di lingkungan internal sekolah maupun di lingkungan luar sekolah (eksternal). (10) Sekolah memiliki aturan yang mewajibkan peserta didik untuk menghormati dan menghargai tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, dan sesamanya dengan rasa saling menghargai.(11) Sekolah memiliki aturan yang menganjurkan tenaga pendidik dan kependidikan harus memiliki konsisten dalam menegakkan disiplin bagi peserta didik, (12) Sekolah memiliki standar perilaku yang dioperasionalisasikan secara konsisten didalam kelas maupun diluar kelas, (13) Sekolah memiliki kebijakan standar kedisiplinan yang tinggi.
PENGELOLAAN KURIKULUM
Pemberlakuan undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Desentralisasi pengelolaan pendidikan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan merupakan mutlak dilakukan seiring dengan adanya tuntutan globalisasi dan tuntutan mutu pendidikan yang terus berkembang dari masyarakat dalam bidang pendidikan, agar hasil pendidikan nasional dapat bersaing dengan hasil pendidikan negara-negara maju. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan tertentu yang dimaksudkan meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk penjaminan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk : (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Kewenangan sekolah dalam menyusun kurikulum memungkinkan sekolah menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan peserta didik, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan demikian, daerah dan atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan, pengelolaan proses pembelajaran, cara membelajarkan peserta didik, dan menilai keberhasilan pembelajaran.
Pengembangan dan pelaksa¬naan kurikulum mempunyai kaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta.didik. Me¬nurut Townsend (1994) pelaksanaan kuri¬kulum mencakup : (1) kuali¬tas program pembelajaran, (2) ke¬ter¬libatan tenaga pendidik da¬lam pembelajaran, (3) harapan masyarakat terhadap sekolah, (4) teknik motivasi untuk memenuhi harapan, (5) alokasi waktu, (6) teknik pembelajaran (klasikal, kelompok, individual / eks¬klusi), (7) pemantauan kema¬juan belajar, (8) tingkat keterli¬bat¬an siswa dalam pembelajar¬an, dan (9) fasilitas belajar yang di¬se¬diakan oleh se¬kolah. Wayson, dkk. (1988), mengung¬kapkan beberapa as¬pek yang berkaitan dengan karakteristik pengelolaan kurikulum pada sekolah efektif, yaitu (1) adanya kesempatan belajar yang memadai yang diberikan kepada siswa, (2) kurikulum yang terkoordinasi, (3) pembelajaran yang berlangsung secara aktif, dan (4) jelasnya fokus dan misi pendidikan di sekolah.
Pengelolaan kurikulum yang efektif, memiliki Karakteristik yang dapat di ukur dengan indikator sebagai berikut: (1) Sekolah memiliki komitmen dalam pengembangan kurikulum dengan memperhatikan aspek keceradasan intelek¬tual, emosional dan spritual secara proporsional.(2) Sekolah aktif dalam penjabaran kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilaksanakan atas inisiatif, mandiri, dan kreativitas sekolah,(3) Sekolah memiliki tenaga pendidik yang memiliki kemampuan dan konsisten untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dalam mendukung pelaksanaan kurikulum,(4) Sekolah memiliki target yang harus dicapai oleh peserta didik dan mensosialisasikan kepada semua komponen sekolah, (5) Sekolah memiliki tenaga pendidik yang memahami kurikulum dan melaksanakan dengan baik dalam rangka mencapai standar nasional pendidikan, (6) Sekolah memiliki tenaga pendidik yang profesional dalam mengembangkan bahan ajar dengan mengacu pada standat kompetensi dan kompetensi dasar (7) Sekolah memiliki tenaga profesional yang memamhami penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) melalui wadah KKG / MGMP tingkat sekolah/ Kecamatan/Kabupaten/Kota, (8) Sekolah mampu menyediakan sumber dan alat pembelajaran yang cukup dalam mendukung peroses pembelajaran, (9) Sekolah memiliki aturan yang menganjurkan tenaga pendidik dalam proses pembelajaran IPTEK dikaitkan dengan proses pembelajaran IMTAQ. (10) Sekolah memiliki pemetaan peserta didik yang mengalami lambat belajar yang terbimbing melalui program pembelajaran remedial, dan Program pembelajaran pengayaan diberikan kepada peserta didik yang memiliki kecepatan belajar, (11) Sekolah memiliki ketersediaan sumber-sumber belajar, baik di ruang kelas, perpustakaan, taman, tempat tertentu di lingkungan sekolah.(12) Sekolah memiliki program jaringan kerjasama dengan sumber berlajar di luar sekolah, termasuk kerjasama dengan lemba-ga terkait lain, atau program tertentu dalam rangka pembelajaran berbasis lave skill dan berwawasan lingkungan (13) Sekolah memiliki komitmen memanfaatkan secara optimal tenaga berpengalaman sebagai narasumber dalam penguatan kapasitas kemampuan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, dalam membagi pengalaman terbaik yang terkait dengan kompetensi tertentu yang perlu dimiliki tenaga pendidik, (15) Sekolah memiliki dokumen penting sebagai acuan pengembangan kurikulum, (16) Sekolah memiliki standar kompetensi dan Kompetensi dasar yang dikembangakan secara bertahap melalui sistem program semester / paket.
AKUNTABILITAS SEKOLAH
Tujuan akhir desentralisasi pendidikan adalah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada sekolah untuk mengelola pendidikan bermutu dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada seko¬lah untuk mendorong sekolah lebih mandiri dalam penge¬lo¬laan¬ pendidikan yang didukung oleh partisipasi warga sekolah yang efektif. Pemberian otonomi sekolah yang seluas-luasnya perlu ditunjang dengan kemitraan dan kerjasama sekolah dengan orang tua, dan masyarakat (stekeholders). Kuchapski (2003) mengemukakan prinsip-prinsip akuntabilitas pendidikan, yaitu: pemberitahuan (disclosure), transparansi, dan perhatian terhadap kebutuhan stakeholders. Prinsip pemberitahuan memiliki makna, bahwa informasi penyelenggaraan pendidikan harus diberikan kepada publik, orang tua peserta didik dan msyarakat dalam memberikan penilaian yang adil terhadap kinerja lembaga pendidikan dan mengetahui siapa yang bertanggung jawab jika mereka tidak puas atas kinerja komponen sekolah. Salah satu bentuk akuntabilitas yang disarankan oleh Kuchapski (2003) adalah audit mutu internal oleh tenaga fungsional antara lain : Direktorat Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga kependidikan (PMPTK) / Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang ditugasi terutama yang berkaitan dengan persoalan pengelolaan akademik, non akademik dan bantuan lainnya.
Prinsip transparansi berfokus pada pemberian akses informasi tentang proses yang terjadi dalam kehidupan organisasi. Menurut Oliver (2004), transparansi berarti pemberian kesempatan kepada orang lain untuk melihat apa yang terjadi. Dalam konteks sekolah, transparansi lebih diarahkan pada keterbukaan dan pemberian akses informasi tentang kemajuan-kemajuan belajar peserta didik di sekolah yang berkaitan dengan pemberian bantuan.
Prinsip kesesuaian antara program dan kegiatan sekolah di harapkan dapat memberikan kepuasan stakeholders, yang berkaitan dengan dua konsep: ketanggapan dan kesepakatan. Ketanggapan berupa kemampuan membaca keinginan stakeholders terhadap lembaga pendidikan. Karena itu akuntabilitas perlu menekankan pada pemahaman terhadap harapan, aspirasi dan kepuasan stakeholder. Kesepakatan diartikan pada suatu keputusan yang diambil harus berdasarkan persetujuan stakeholders, khususnya yang berdampak langsung dari kesepakatan. Mekanisme pengambilan keputusan harus melalui partisipatif untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kemajuan lembaga pendidikan.
Akuntabilitas sekolah memiliki karakteristik yang dapat di ukur dengan indikator sebagai berikut: (1) Sekolah memiliki budaya keterbukaan, transparansi dan komitmen, (2) Sekolah memiliki program yang mendorong keterbukaan dan sanksi yang melanggar dan penghargaan dari organisasi yang telah dilakukan dengan baik.(3) Kepala sekolah dan komponen sekolah terampil dan memiliki integritas, kepercayaan dan keberanian mengatakan apa yang benar dan memperbaiki apa yang keliru. (4) Sekolah memiliki keputusan secara tertulis dan tersedia untuk komponen sekolah yang membutuhkan, (5) Sekolah memiliki keputusan yang memenuhi etika, norma, dan nilai-nilai yang berlaku (6) Sekolah memiliki kejelasan sasaran kebijakan yang diambil, sesuai visi, misi, tujuan, dan standar yang berlaku, (7) Sekolah memiliki mekanisme penjaminan dalam mencapai standar nasional pendidikan, dan bertanggungjawab, jika standar tersebut tidak terpenuhi (8) Sekolah memiliki konsisten dalam mencapai target. (9) Sekolah memiliki kesadaran dan kemampuan dalam menyebarkan informasi keputusan bersama, melalui media masa/ surat kabar, maupun melalui media komunikasi personal (10) Sekolah memiliki informasi yang akurat yang berhubungan dengan strategi mencapai sasaran target program. (11) Sekolah memiliki akses publik pada informasi atas suatu keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat. (12) Sekolah memiliki sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah kabupaten / kota.


DAFTAR PUSTAKA

Arismundar 2007 Manajemen sekolah, Bahan Pelatihan Fasilitator Program Kemitraan
Kepala Sekolah Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas RI.
Direktorat Tenaga Kependidikan 2007 Panduan Penulisan Best Practices ( Praktik Ter-
baik ) Kepala Sekolah, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Ke-
pendidikan (PMPTK) Depdiknas RI.
DR Abi Sujak 2005 Kepemimpinan Kepala sekolah bahan pelatihan instruktur kepala
sekolah Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas RI.
Depdiknas 2006 Rencana Pengembangan Sekolah, Direktorat Kependidikan, Ditjen
PMPTK Permendiknas No 22 Tahun 2006 Tentang Stándar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas RI
Permendiknas No 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas RI
UURI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas RI.
UURI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Depdiknas RI.
PP Nomor. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Depdiknas RI.
Moedjiarto. 1990. Persepsi terhadap Karakteristik yang Membedakan Sekolah Menengah
Atas dengan Prestasi Aki:zdemik Tinggi dan Sekolah Menengah atas dengan
dengan Prestasi Akademik Rendah di Surabaya. Disertasi. Tidak diterbitkan:
Malang: Fakultas Pasca Sarjana Intitut Keguruan dan llmu Pendidikan
Malang.
Kirina, L.L. 2003 Indikator dan alat ukur perinsip akuntabilitas, transparansi dan partisi-
pasi, jakarta sekertariat good Public governance badan perencanaan pembang
unan Nasional, Depdiknas RI

KONSEP-KONSEP KRITERIA PENILAIAN KINERJA

KONSEP-KONSEP KRITERIA PENILAIAN KINERJA

Oleh
Hamzah LPMP NTT

A. Karakteristik / Sifat
Kriteria berdasarkan sifat memusatkan diri pada karakteristik pribadi seorang karyawan, yakni meliputi : Loyalitas, Keandalan, Kemampuan Berkomunikasi, dan Keterampilan Memimpin merupakan sifat-sifat yang sering dinilai selama proses penilaian. Jenis dan kriteria penilaian tersebut adalah memusatkan diri pada bagaimana seseorang, bukan pada apa yang harus dicapai atau tidak dicapai seseorang dalam suatu pekerjaannya, meskipun instrumen-instrumen penilaian berdasarkan sifat dapat di ciptakan dengan mudah. Instrumen-instrumen tersebut mungkin bukan indikator kerja pekerjaan yang valid. Yang dinilai sebagai kinerja harus dikaitkan langsung dengan pekerjaan. Sayangnya hubungan antara sifat dan kinerja seringkali lemah, atau paling tidak sulit ditetapkan dengan jelas karena sifat-sifat sulit di definisikan. Bagi seseorang, keandalan bisa berarti datang bekerja tepat pada waktunya pada setiap hari; bagi orang yang lain bisa berarti bekerja sampai berlarut-larut bila pimpinan memintanya; Bagi orang berikutnya, bisa berarti tidak memanfaatkan waktu untuk istirahat meskipun ia sakit. Oleh karena demikian maka ukuran kinerja berdasarkan sifat umumnya tidak dapat diandalkan. Hal ini mungkin kelihatan aneh dengan nilai potensial yang ditempatkan pada pembangunan budaya korporat kurang lebih mempunyai macam orang yang tepat sebagaimana didefinisikan dengan kualitas personal yang berkembang melampaui keterampilan pekerjaan. Apakah posisi dewan berarti bahwa kualitas pribadi yang sulit diukur tidak boleh di evaluasi sebagai bagian dari proses penilaian kinerja? tidak; Kualitas-kualitas itu bisa dimasukan jika lembaga/institusi/ perusahaan mampu bergeser dari fokus sifat ke fokus perilaku.
Perubahan-perubahan pada skala global dapat memicu timbulnya transformasi struktural yang pada ahirnya dapat memberikan dampak pada proses pergeseran nilai, sikap, cara hidup, perilaku, sistem, dan kelembagaan. Dalam kaitan dengan karakteristik seseorang yang berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dan strategis, sehingga mampu memicu perubahan, pertumbuhan dan pengembangan disegala bidang kehidupan organisasi.


B. Perilaku/ Sikap.
Kriteria berasarkan perilaku terfokus pada bagaimana pekerjaan dilaksanakan. Kriteria semacam ini penting sekali bagi pekerjaan yang membutuhkan hubunagn antar personal, seperti pelanggan. Sebagai contoh apakah kasir-kasirnya memiliki keramahan atau menyenangkan pelanggan dan berperan penting bagi meningkatkan citra lembaga/institusi/perusahaan dalam benak pelanggan. Oleh karena itu, lembaga/ institusi/perusahaan tersebut telah membuat daftar perilaku tertentu yang harus dipatuhi oleh karyawan, dan perilaku-perilaku ini di ukur oleh pelanggan. Organisasi berjuang menciptakan suatu budaya dimana keragaman dihargai dan dihormati, kriteria keperilakuan terbukti bermanfaat untuk memantau apakah para manajer mencurahkan cukup banyak usaha untuk mengembangkan diri. Kita dapat membayangkan bagaimana sulitnya di kemudian hari dalam mengevaluasi keragaman karyawan. Kriteria kinerja semacam ini memberi sedikit tuntunan bagi pimpinan/manajer apa yang sebenarnya yang harus dilakukan, dan sama sulitnya pimpinan/manajer mengevaluasi secara berkala, (meskipun bawahan mungkin benar-benar bersedia menyatakan opini mereka). Untuk tujuan manajemen kinerja, kinerja yang lebih efektif adalah perilaku-perilaku spesifik. Misalnya dalam satu lembaga/perusahaan menggunakan hal-hal berikut ini untuk menilai akuntabilitas terhadap keragaman :
1. Memuat rencana mencakup strategi keragaman
2. Anggota kelompok berfokus pada keragaman atau komite pengarahan
3. Mengikuti lokakarya atau seminar keragaman
4. Porsen karyawan dalam organisasi yang mempunyai rencana pengembangan individu
5. Membentuk organisasi berfokus pada keragaman
6. Setiap karyawan menginventarisir keluhan-keluhan
Kriteria perilaku, kalau dikombinasikan dengan umpan balik kinerja, sangat bermanfaat bagi pengembangan karyawan. Dengan demikian maka perilaku dapat teridentifikasi secara jelas, seorang karyawan lebih memungkinkan memperlihatkan perbuatan yang dapat membawa ke puncak kinerja. Kinerja perilaku kurang tepat dimana kinerja yang efektif dapat dicapai dengan menggunakan berbagai macam perilaku, bahkan dalam pekerjaan inipun, identifikasi perilaku yang paling tepat berfungsi sebagai penuntun dan bermanfaat bagi sebagian besar perbuatan karyawan. Perilaku mempunyai hubungan spesifik dengan apa yang dilakukan karyawan dalam suatu pekerjaan, kriteria perilaku secara hukum cenderung dapat dipertahankan.
Dengan demikian semakin baik ditekankan pada produktivitas dan daya saing, maka ktiteria berdasarkan hasil, semakin populer. Kriteria ini terfokus pada apa yang telah dicapai atau telah dihasilkan ketimbang bagaimana sesuatu dicapai atau dihasilkan. Kriteria berdasarkan hasil mungkin tepat jika lembaga/perusahaan tidak peduli bagaimana hasil yang dicapai, tetapi tidak tepat untuk setiap pekerjaan. Kriteria ini sering dikritik karena meninggalkan aspek-aspek kritik pekerjaan penting seperti kualitas, yang mungkin sulit di identikasi. Sebagai contoh jumlah masalah yang ditangani setiap bulan oleh pimpinan/manajer/karyawan bisa dihitung dengan jumlah jari tangan, tetapi hasilnya tidak dapat menunjukkan kualitas bantuan bimbingan yang diberikan atau pemecahan masalah-masalah tersebut. Contoh lain, jauh lebih mudah menghitung jumlah kesalahan pengetikan kata yang dibuat seorang tenaga administrasi daripada menilai keterampilannya menentukan telpon, tamu kantor yang harus diladeni. Lebih jauh mentalitas hasil berdasarkan biaya biasa mengganggu penilaian berdasarkan hasil, Misalnya agen penagih menggunakan kriteria berdasarkan hasil “ Mengumpulkan banyak uang” sebagai satu-satunya ukuran kinerja. Meskipun banyak uang terkumpul, agen tersebut akhirnya dituntut karena menggunakan ancaman dan tindakan-tindakan kekerasan dalam mengaih.
Kinerja karyawan dewasa ini, kata sementara orang, telah menjadi tidak memiliki motivasi kerja dan cenderung menurun dan tertinggal jauh dengan kinerja karyawan lembaga/perusahaan di berbagai daerah lain. Hal ini di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Dukungan manajemen puncak kurang
2. Dukungan tim kerja yang profesional
3. Kurang didukung oleh tenaga penyelia terlatih
4. Ketersediaan layanan untuk bantuan profesional kurang
5. Kepemimpinan yang memiliki keterampilan kurang
6. Sistem memantua, menilai dan merevisi program tidak dijalankan
7. Lingkungan kerja kurang konduksif
8. Kompensasi yang kurang menentu
Sebagai konsekwensi logisnya, untuk menghasilkan kinerja dan kualitas produk dan jasa pelayanan yang prima menjadi keharusan, menjadi tidak bisa dicapai, dan memang sulit di capai, yang pada akhirnya kinerja yang kualitas dan mampu bersaing tidak dapat terwujud.

C. Hasil-Hasil Yang di Capai
1. Hubungan dengan sasaran organisasi.
Tanpa memandang tipe kriteria yang mana diukur dalam proses penilaian, Jika sistem manajemen kinerja menjadi strategis sejauh kriteria ini dihubungkan secara jelas dengan sasaran organisasi. Hubungan ini membutuhkan suatu kebijakan. Kita mencoba memikirkan tugas karyawan di sebuah lembaga/perusahaan. Kriteria perilaku karyawan ini mungkin adalah “Menelepon arbitrase dalam jangka waktu kurang lebih sepuluh menit, setelah menerima pesanan” Kriteria berdasarkan hasil mungkin adalah “ Menghasilkan Jutaan penjualan produk setiap hari” Kedua kriteria tersebut, hubungan strategis mengasumsikan bahwa agregasi kinerja individu berkaitan dengan seluruh profitabilitas lembaga/perusahaan dalam waktu tertentu. Manajer harus mengevaluasi apakah asumsi semacam ini masuk akal atau tidak. Jika tidak, para pimpinan/manajer harus memastikan dan mengembangkan dengan yang lebih baik.
2. Kriteria tunggal atau majemuk.
Pengkoordinasian kegiatan-kegiatan mungkin merupakan satu-satunya tugas jabatan tertentu. Namun yang lebih sering, tugas itu terdiri dari berbagai tanggungjawab dan pekerjaan. Bagi pimpinan/ direktur perusahaan, tanggungjawab berupa mengkoordinasian kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan dengan mengamati kejadian-kejadian baru dan menyelesaikan. Jika analisis jabatan mengidentifikasi bahwa semua tanggungjawab ini penting, semuanya harus diukur dengan instrumen penilaian kinerja. Jika formulir yang digunakan untuk menilai kinerja karyawan tidak meliputi perilaku jabatan dan hasil-hasil yang penting dan relevan dengan jabatan, maka formulir tersebut dianggap defisien. Jika formulir menilai segala sesuatu yang penting maupun yang tidak penting terhadap jabatan, formulir tersebut terkontaminasi. Sayangnya banyak formulir penilaian kinerja yang digunakan dalam organisasi saat sekarang ini termasuk defisien dan terkontaminasi. Salah satu teori kinerja menganjurkan bahwa sekumpulan bidang kinerja yang jumlahnya terbatas dapat digunakan untuk mencakup seluruh aspek dan hampir semua jabatan. Teori ini mendefinisikan kinerja sebagai apa yang dilakukan orang, bukan apa yang dihasilkan. Delapan domain pemikiran yang mencakup semua aspek kinerja meliputi :
1. Kinerja tugas khusus jabatan
2. Kinerja non tugas khusus jabatan
3. Komunikasi tertulis dan lisan
4. Berupaya secara konsisten
5. Disiplin peribadi
6. Pemberian kemudahan bagi rekan sejawat
7. Penyeliaan dan kepemimpinan yang positif
8. Manajemen dan adminiatrasi yang professional
Tidak semua jabatan mencakup seluruh kegiatan ini. Meskipun demikian, taksonomi umum ini bisa berfungsi sebagai acuan yang bermanfaat jika memikirkan secara mendalam jenis-jenis kriteria yang mungkin relevan dengan suatu jabatan tertentu. Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa kualitas kinerja merupakan kunci dari keseluruhan ikhtiar manusia di segala bidang, termasuk untuk menghadapi persaingan global. Oleh karena itu, maka sangat tepat peningkatan kualitas kinerja karyawan sebagai sasaran utama. Kualitas kinerja karyawan dilembaga/perusahan saat ini, kalau dilihat secara kasus per kasus mungkin kita dapat mengatakan bahwa kualitas kinerja karyawan kini cukup memprihatinkan. Tetapi, secara keseluruhan harus diakui bahwa kualitas kinerja relatif masih rendah. Rendahnya kualitas dan kemampuan sumber daya manusia bangsa Indonesia tercermin dari rendahnya produktivitas kinerja, baik tingkatannya maupun pengembangannya. Meskipun tidak terlalu mengecewakan, tetapi memerlukan upaya peningkatan kualitas kinerja secara terus menerus.
Dalam upaya keperluan usaha-usaha peningkatan kualitas kinerja perlu kita berfikir lebih spesifik kepada apa, mengapa dan bagaimana melakukannya. Dari uraian singkat diatas, kiranya jelas bahwa kinerja karyawan dimasa kini cukup serius, jika dibandingkan dengan kinerja karyawan di negara-negara lain.
3. Sebab-Sebab Kekurangan Kinerja
Untuk menemukan alasan-alasan atau hasil-hasil kekurangan kinerja, sejumlah pertanyaan dapat diajukan yang berdasarkan pada suatu model penentu perilaku karyawan dalam sebuah organisasi. Model ini memungkinkan para pimpinan/ manajer mendiagnosa kekurangan kinerja dan mengoreksinya secara sistematik. Secara umum, model tersebut mengatakan karyawan berkinerja bagus jika fasilitator berikut ini ada :
1. Kemampuan
2. Minat menjalankan pekerjaan
3. Peluang bertumbuh dan maju
4. Tujuan didefinikan dengan jelas
5. Kapasitas apa yang diharapkan
6. Umpan balik mengenai seberapa baik mereka mengerjakan tugasnya
7. Imbalan bagi yang berkinerja baik
8. Hukuman bagi yang berkinerja buruk
9. Kekuasaan mendapatkan sumber daya guna menjalankan pekerjaan
Hal ini dapat memperlihatkan sebagian besar faktor penentu dan pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat diajukan untuk menunjukkan dengan tepat sebab-sebab kekurangan kinerja. Jawaban negatif menunjukkan bahwa suatu faktor bisa jadi merupakan penyebannya. Berdasarkan serangkaian jawaban semacam ini, kemungkinan sebab-sebab, kekurangan kinerja dapat ditetapkan. Kemudian, rencana tindakan perbaikan dapat dikembangkan. Proses yang digunakan orang untuk menjelaskan perilaku dan perilakunya orang lain disebut atribusi (pensifatan). Pemahaman terhadap atribusi membantu seseorang meramalkan apa penyebab dan tanggapan yang mungkin diberikan para pimpinan/manajer kepada kekurangan kinerja yang mereka lihat pada diri bawahannya. Penjelasan atas perilaku ini berfungsi sebagai dasar untuk memutuskan bagaimana mengubah perilaku. Jika penjelasan ini salah, rencana untuk mengubah perilaku mungkin tidak akan efektif.
4. Pihak-pihak yang melakukan evaluasi
Hal yang terpenting dalam menentukan siapa yang harus melakukan penilaian adalah jumlah dan jenis hubungan kerja yang dimiliki penilai dengan orang yang dievaluasi. Kuantitas dan kualitas pengetahuan dan tugas mungkin bervariasi sesuai dengan tingkat organisasi. Anggota tim, pelanggan, dan bawahan melihat perilaku tugas seseorang individu dari sisi yang berbeda dengan penyelia. Misalnya seorang pelanggan kemungkinan mengamati perilaku seorang misalnya menyapa, pelanggan atau melakukan penjualan dari pada seorang penyelia tingkat pertama. Gagasan pentingnya adalah bahwa tidak seorangpun karyawan sekalipun memiliki informasi yang lengkap. Seorang pekerja mungkin ia tahu apa yang ia kerjakan, tetapi tidak sadar akan akibat perilaku terhadap reaksi pelanggan atau keuntungan bersihnya. Pelibatan keanekaragam dalam proses pemberian penilaian umumnya merupakan pendekatan terbaik. Jika evaluasi penyelia, bawahan, rekan sejawat, dan karyawan sendiri digunakan, evaluasi semacam ini sering disebut penilaian 360 derajat. Penilaian bermanfaat untuk memberikan umpan balik demi tujuan pengembangan.
4.1. Penilaian Atasan.
Istilah atasan dalam konteks ini mengacu pada pimpinan langsung bawahan yang sedang dievaluasi. Banyak lembaga / perusahaan yang beranggapan bahwa atasan lebih mengetahui pekerjaan dan kinerja bawahan dari pada siapapun, oleh karena itu lembaga / institusi / perusahaan memberikan kewenangan penuh seluruh tanggungjawab penilaian kepada pimpinan. Jika kita menyimak lebih jauh bahwa penilaian yang dilakukan oleh pimpinan mempunyai kelemahan. Pertama atasan biasanya punya kekuasaan untuk memberikan imbalan dan hukuman, dan bawahan mungkin merasa terancam. Kedua evaluasi pimpinan sering merupakan proses satu arah yang membuat bawahan defensif. Ketiga atasan mungkin tidak mempunyai kemampuan interpersonal yang diperlukan untuk memberikan umpan balik yang balik. Sehingga sedikit sekali terjadi pangarahan; karyawan cenderung tidak sungguh-sungguh mendengarkan umpan balik negatif yang diberikan kepada mereka; dan timbullah pembenaran tindakan. Seyogyanya organisasi sering mengundang orang lain untuk ikut dalam proses penilaian. Tindakan ini meningkatkan keandalan dan keadilan yang dirasakan dari proses penilaian. Disamping itu tindakan semacam ini menciptakan keterbukaan yang lebih besar dalam sistem penilaian kinerja dan mempertinggi kualitas hubungan atasan bawahan.
4.2. Penilaian Diri Sendiri.
Penggunaan penilaian diri sendiri, khususnya melalui partisipasi bawahan dalam menetapkan tujuan sebagai bagian dari komponen manajemen berdasarkan sasaran. Bawahan berpartisipasi dalam proses evaluasi mungkin akan lebih terlibat dan punya komitmen dan tujuan. Partisipasi bawahan mungkin juga membantu dalam memperjelas peran karyawan dalam mengurangi konflik peran.
4.3. Penilaian Rekan Sejawat atau Anggota Tim.
Penggunaan penilaian anggota tim agaknya meningkat. Partisipasi karyawan, kerjasama tim dan pemberian wewenang. Salah satu alasannya adalah bahwa penilaian rekan sejawat terlihat sebagai alat prediksi kinerja masa mendatang yang sangat bermanfaat. Alasan lain adalah penilaian kinerja secara individu tidak memberikan konstribusi kepada upaya pembinaan tim yang merupakan unsur penting dalam gaya menajemen partisipatif yang telah dan sedang berlangsung di saat ini.
4.4. Penilaian Ke Atas atau Terbalik.
Organisai semacam ini telah mensurvei karyawan selama beberapa tahun untuk mengetahui opini mereka tentang manajemen, tetapi pada umumnya tipe penilaian ini, yang disebut penilaian ke atas atau penilaian terbalik, tetap populer. Perusahaan ini menggunakan ranting bawahan dalam hal bagaimana pimpinan/manajer mereka menjalankan manajemen untuk memperbaiki operasi, merampingkan hierarkir organisasi mereka, dan mengembangkan manajer-manajer yang lebih baik.
4.5. Penilaian Pelanggan.
Penilaian pelanggan dari berbagai konteks sangatlah tepat, Misalnya suatu klinik kesehatan di kota kupang secara rutin meminta pasien memberi rating penjaga meja pasien dan tenaga perawat mengenai perilaku mereka seperti sopan, santun, kecepatan, dan kualitas perawatan. Untuk mendorong pelanggan mengembalikan survey tersebut seyogyanya mengadakan lomba undian bulanan pencucian karpet secara cuma-cuma. Para pemasang dengan rating tertinggi diberi penghargaan uang dan diberi pujian dengan kata-kata.
4.6. Penilaian Yang Mengacu Pada Norma.
Bagi kebanyakan tipe keputusan sumber daya manusia, pertanyaan fundamental seringkali adalah siapa yang berkinerja paling bagus, siapa yang harus dipertahankan, kalau kita menguarangi tenaga, siapa yang harus diberi tugas khusus. Untuk jenis-jenis keputusan ini satu dari beberapa format kinerja yang mengacu pada norma adalah tepat.
4.7. Rangking langsung.
Dalm rangking langsung atasan mengurutkan para pemegang jabatan dari yang terbaik sampai yang terburuk, yang biasanya berdasarkan kinerja keseluruhan. Pemegang jabatan juga bisa dirangking dengan memperhatikan pada tugas-tugas khusus. Namun sistem perangkingan tersebut hanya cocok pada organisasi kecil. Jika jumlah pemegang jabatan bertambah akan sulit melihat perbedaan-perbedaan dalam kinerja mereka terutama untuk pemegang jabatan tingkat rata-rata. Dalam hal ini rangking alternatif bisa membantu.
5. Memanfaatkan Penilaian Kinerja Untuk Memaksimumkan Kinerja
Pengukuran kinerja yang seharusnya mencerminkan masa lalu, bukan tujuan yang harus dicapai, melainkan sarana untuk memasuki masa depan yang lebih produktif. Penilaian kinerja mencapai potensinya tidak cukup hanya melakukannya; karyawan harus bertindak sesuai penilaian. Atasan biasanya mempunyai tanggungjawab mengkomunikasikan hasil-hasil penilaian kepada bawahannya untuk meningkatkan kinerja karyawan. Atasan bisa membantu kelancaran pemanfaatan penilaian tersebut secara efektif dengan melatih tentang seni umpan balik dan memberikan sumber-sumber daya pengembangan keahlian, keterampilan dan pengetahuan kepada karyawan. Prinsip-prinsip tersebut mungkin lugas, namun sedikit sekali organisasi mengklaim telah menyempurnakan sistem manajemen kinerja karyawan. Tidak sedikit rintangan untuk memaksimalkan kinerja yang melekat dalam kehidupan organisasi. Hal ini tergantung peran aktif dari semua komponen dalam organisasi yang terlibat didalamnya untuk mencapai sesuatu kinerja yang lebih profesional.
6. Kendala Terhadap Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja menyangkut kegiatan dengan sarat soal emosional : Penilaian terhadap kontribusi seseorang kepada organisasi. Sinyal-sinyal yang diterima seseorang mengenai penilaian mempengaruhi harga diri dan kinerja berikutnya. Bilamana berjalan lancar, maka penilaian akan mudah. Setiap orang ingin memberikan dan memperoleh umpan balik. Perbaikan sering datang dengan perlahan-lahan sebagian karena adanya konflik yang melekat dalam proses penilaian, sehingga mengganggu pengumpulan data secara jujur, pembagian data, dan pemanfaatan data. Penilaian kinerja sering mendapatkan angka rendah dari karyawan, pimpinan, para pakar. Masalah-masalah ini juga mencerminkan prefensi normal interaksi sosial positif.
6.1. Kurangnya integrasi strategis.
Proses penilaian kinerja seringkali mengarah pada konflik karena tujuannya tidak sejajarkan dengan keseluruhan sasaran organisasi. Salah satu penyebabnya adalah sumber daya manusia tidak diberikan perioritas yang sama dengan sumber daya manusia lain selama perencanaan strategis, ketimbang sebagai antisipasi terhadap inisiatif-inisiatif. Penjelasan lain adalah untuk membangun hubungan semacam ini dibutuhkan waktu dan sumber daya manusia lainnya.
6.2. Kekuasaan dan politik.
Penilaian kinerja mempunyai kekuasan yang sah untuk mempengaruhi pemegang jabatan. Karyawan biasanya yang lebih tinggi mengevaluasi karyawan yang punya rangking lebih rendah dan kurang berkuasa. Selain itu bahwa penilaian mengarah pada konsekwensi formal seperti penghargaan dalam bentuk uang, promosi, dan pemecatan, serta konsekwensi informal seperti kritik khalayak dan hak-hak istimewa tertentu. Konsekwensi semacam ini biasanya diakui dan mempengaruhi orang yang dinilai, tetapi hasil penilaian mempunyai konsekwensi terhadap organisasi dan penilai. Jika penilaian dicampuradukan dengan kepentingan penilai terhadap konsekwensi bagi dirinya, maka yang dipakai sebagai dasar tindakan pada masa mendatang adalah informasi menyimpang dan tidak akurat. Dinamika penilaian semacam ini mengurangi nilai strategis informasi penilaian dan tindakan-tindakan yang didasarkan pada informasi yang akurat.
6.3. Sasaran pihak-pihak yang berkepentingan
Konflik tujuan berbagai unsur yang mempunyai kepentingan dalam proses penilaian bisa menghambat dalam upaya memaksimalkan kinerja. Dari sasaran organisasi dan individu muncul dua kelompok konflik. Salah satunya adalah antara sasaran evaluasi dan pengembangan organisasi. Pada saat mengejar sasaran evaluasi, seorang atasan membuat penilaian yang mempengaruhi secara langsung karier dan imbalan bawahan. Dalam mengkomunikasikan penilaian ini dapat tercipta hubungan pertentangan dan saling kurang percaya antara atasan dan bawahan. Hal ini pada akhirnya menghalangi atasan bertindak sebagai pemecah masalah dan pelatih, yang berperan penting membantu sasaran-sasaran pengembangan.
7. Perdayakan Karyawan
Dalam manajemen proses penilaian hal yang paling sulit adalah mengumpulkan dan mengelola informasi tentang semua karyawan. Jika rentang kendali seorang pimpinan maka luas tugas bertambah sampai kepada tingkat yang tak dapat ditangani. Pemindahan tanggungjawab untuk membuat catatan kinerja kepada pemegang jabatan akan membantu dalam memecahkan masalah sekaligus meningkatkan persepsi tentang keadilan. Untuk melaksanakan tanggungjawab ini, pemegang jabatan perlu diberi pelatihan menuliskan standar kinerja dan mengumpulkan serta mendokumentasikan informasi kinerja. Pemegang jabatan harus menegosiasikan kembali standar kinerja yang telah usang atau tidak bisa dicapai karena adanya hambatan. Dengan demikian diperlukan komunikasi terbuka dua arah, sebagaimana iklim saling percaya.
Pendelegasian tanggungjawab menajemen kinerja memberikan beberapa keuntungan yakni, bawahan tidak lagi merupakan partisipasi pasif, tetapi beraksi terhadap arahan penyelia; bawahan mengidentifikasi rintangan kinerja dan membawanya ke perhatian para pimpinan, sikap defensifnya berkurang; penyelia bebas mengatur dan memberi pangarahan ketimbang melakukan pengawasan dan penjagaan; bawahan merasa ikut memiliki tanggungjawab dalam proses.
8. Tindak lanjut yang tepat
Tindak lanjut merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan semua kesepakatan perilaku yang di rundingkan selama wawancara terpenuhi. Mengubah perilaku seseorang bukanlah hal yang mudah, penyelia dan juga bawahan cenderung mengenyampingkan kesepakatan perilaku. Konsekwensinya, penyelia harus menguji apakah bawahan tahu apa yang diharapkan, mempunyai strategis untuk memberikan kinerja sebagaimana yang di inginkan, dan menyadari konsekwensi perilaku yang baik dan yang buruk. Mereka juga harus memantau perilaku, memberi umpan balik, dan segera mendorong perilaku baru yang cocok dengan sasaran yang di inginkan. Dengan tidak adanyan umpan balik dan dorongan maka perilaku-perilaku baru tidak mungkin menjadi kebiasaan (habit) Dorongan bisa sederhana dengan tepukan di punggung atau pujian. Pekerjaan yang bagus atau bisa nyata seperti catatan yang dimasukan dalam arsip karyawan. Untuk beberapa perilaku, diperlukan pemantauan secara terus menerus.